Thursday, August 7, 2008

Takdir yang Terenggut

Takdir yang Terenggut

Oleh: Sulhaidi

Sebuah gubuk tua yang sudah seumur kakeknya. Dulu lima belas tahun yang silam, hiduplah sepasang suami-istri yang rukun dan bahagia. Mereka tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Suasana asri nan indah membuat rumah itu hidup. Dua tahun sudah mereka lewati hidup bersama di dalam gubuk sederhana itu. Dinding bambu, beratapkan rumbai tak mengurangi sedikit apa kebahagiaan mereka. Kala pagi menyambut sinar sang surya menebus dinding-dinding laksana baru saja selesai perang para serdadu menembak babi buta sebuah rumah sehingga bolong-bolong pun nampak jelas di depan hidung. Ini bukan perang fisik antara sekutu dan musuh tapi perang kali ini perang melawan gelombang kehidupan. Pak Hadi, begitulah sapaan orang-orang kampung. Setiap hari ia kerja di bengkel, pagi hingga menjelang magrib. Istrinya Bu Rina, sedang hamil sembilan bulan, tetanda sebentar lagi menetaskan seorang anak. Segala sesuatu sudah dipersiapkan sang ayah untuk menjemput kedatangan cucu sang Adam.

Sore itu matahari merunduk tersipu malu disela-sela pepohonan, hingga raib di ufuk timur. Dalam gubuk reot itu terdengar suara ramai. Sudah berkumpul beberapa orang. Dukun beranak, kepala kampung, dan beberapa ibu-ibu yang sudah baya. Mereka sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Para ibu-ibu mempersiapakan apa yang dibutuhkan baik untuk Bu dukun maupun persiapan menjemput sang bayi. Sang dukun beranak sibuk dengan memberikan pengarahan kepada Bu Rina. Sementara diluar rumah, seorang lelaki yang berumur kira-kira 25 tahun berjalan mondar mandir dengan cemas. Pak Hadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sesekali duduk. Berdiri. Jalan. Wajahnya bermandikan keringat dingin bercapur cemas.

Dalam hati kecilnya ia memanjatkan do’a tulus ikhlas untuk keselamatan keluarganya. “Oh,,, Tuhanku, berilah mereka keselamatan. Kini mereka dalam keadaan yang tak berdaya, hamba Mu yang penuh dosa ini memohon kepada Mu, berilah mereka kesehatan dan panjang umur. Kuatkan dan tabahkan hati hambamu ini, ya,,,,Rabbi”

Sementara di dalam gubuk…………

“ ya,,,, ya,,,, ya,,,, tarik napas” Perintah sang dukun kepada Bu Rina.

“ Aduh !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Keluh bu Rina Menahan sakit yang tak terhingga.

“ Tahan sedikit, tarik napas, keluarkan” Ujar dukun beranak itu.

“Aduuuh,,, tolong,,,,,, “ Rintih Bu Rina sembari tangannya memegang sisi-sisi dipan.

“Sedikit lagi,,, ayo tarik nafas yang dalam” bujuk bu Dukun

“Tolong,,,,tolong,,,, ” jerit bu Rina menahan sakit sembari menarik nafas ynag tersengal-sengal.

“Tarik napas lagi yang dalam. Kepalanya sudah kelihatan”

Terbelahlah keheningan dan kecemasan gubuk itu dengan tangisan seorang bayi yang berjenis kelamin perempuan. Suasana haru dan senang menghuni segenap gubuk itu.

Seorang Ibu dari mereka keluar dengan mebawa berita gembira menemui pak Hadi.

“Selamat anak Bapak sudah lahir, ia seorang putri, sangat cantik seperti ibunya” katanya kepada pak Hadi

“Alhamdulillah, Engkau memang maha bijaksana ya Tuhan” ucap pak Hadi sambil mengusap muka dengan kedua tangannya.

“Ayo masuk pak” ajaknya.

Sang ayah menggendong putrinya dengan gembira. Lalu ia menemui bu Dukun. Menanyakan bagaimana dengan istrinya, Bu Rina.

“Bu, bagaimana keadaan Istri saya” Tanya pak Hadi dengan cemas.

“Pak Hadi yang baik dan bijak. Tuhan, Yang meluputi segala yang Maha, telah memberikan anugera dan karunia yang terbaik untuk hamba-Nya. Anakmu terlahir sebagai manusia yang sangat sempurna. Sehat dan sangat cantik. Kami semua turut bahagia atas lahirnya putri bapak. Apa-apa yang telah Ia berikan untuk hamba-Nya sesungguhnya tidaklah seberapa besar dari yang telah Ia ambil. Manusia berasal dari-Nya dan akan kembali jua kepada-Nya pula. Pertemuan dan perpisahan, kesedihan dan kegembiraan adalah rahasia alam. Dialah yang awal dan yang akhir. Tabah dan sabarlah dalam menghadapi segala cobaan hidup” papar Bu Dukun dengan bijak.

Belum satu menit Pak Hadi menikmati kebahagiannya menyambut kedatangan sang bayi. Tiba-tiba hatinya lusuh dan layu.

“Ya Tuhan ku,,, Engkau telah memberikanku karunia berupa seorang putri. Tapi,,, tapi mengapa,,,? Mengapa ia Engkau rengut dari ku? Apa salah ku? Aku tidak mengerti ya Tuhan. Mengapa tidak Kau beri kesempatan untuk melihat putrinya? Bagaimana aku akan membesarkan dan mengasuhnya? Oh Tuhan dunia ini terasa sesak”. Rintihan Pak Hadi dalam hati kecilnya ketika menatap sang istri untuk yang terakhir kalinya.

Pak Hadi nampak lemas duduk termenung menerawang hampa. Seolah ia merasa hidup tiada arti. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Suasana bahagia menyelimuti gubuk tua itu tak setara dengan rasa sedih yang ia hadapi. SETETES KEBAHAGIAAN ITU MENGALIR DENGAN PILU DAN HARU. Pak Hadi hanyut dalam belantara dunia kehampaan. Sunyi.

Di luar gubuk sudah banyak yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman. Air. Sabun. Kapan. Dan kembang.

***

Tujuh tahun telah berlalu. Rhea nama putri pak Hadi yang pertama. Ia tumbuh amat cepat. Putih. Cantik dan cerdas. Dalam pergaulan sangat terbuka sehingga di sukai teman-temannya. Persis seperti ibunya. Kini ia duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Sebentar lagi ia akan naik kelas.

Pak Hadi duduk santai di teras rumah. Menatap lingkungan sekitar. Betapa banyak perubahan yang terjadi. Waktu berpacu begitu cepat ibarat angin lalu yang berhembus tanpa ritme. Dulu, tujuh tahun yang lalu suasana di kampungnya masih agak jarang penduduk. Bisa dihitung dengan jari. Tujuh tahun yang lalu belum ada penerangan (baca listrik). Tujuh tahun yang lalu jalan-jalan masih tanah hanya sebagian yang lumayan bagus. Kini semuanya berubah. Terlintas dalam lamunan akan almarhum istrinya. Dia terjebak dalam kesendirian, terpenjara dialam yang gersang. Sunyi.

“Andai saja ia masih disisi ku. Andai Tuhan belum merengut ruhnya. Betapa bahagia rasanya. Ah,,, itu dulu. Kini Rhea sudah besar. Aku yakin istri ku akan bahagia melihat anaknya yang amat cantik dan pintar. Tapi,,, sayang dia telah tiada. Kau memang kejam Tuhan. Tapi tidak apa, Kau telah memberi ku seorang anak yang persis ibunya” Dialog pak Hadi dengan dirinya sendiri tiba-tiba terhenti ketika si Rhea telah ada di pangkuannya.

“Eh,,, sudah pulang kamu” Tanya pak Hadi sembari memeluk anaknya.

“Iya pak”

“Ayo kita makan, tapi kamu ganti pakaian dulu. Jangan lupa cuci tangan” ajak pak Hadi sambil mereka masuk ke dalam dan menuju ke ruang dapur.

Terik matahari begitu menyengat. Bocah-bocah tak perduli dan tak menghiraukan. Mereka tetap asik bermain dibawah terik. Berlari. Saling kejar. Kecerian terlihat di wajah mereka dengan bermandikan keringat. Bagi mereka bermain adalah dunia yang menyenangkan sebab dengan bermainlah mereka juga dapat berinteraksi satu sama lain. Begitu juga dengan putri Pak Hadi. Rhea.

Pak Hadi yang memiliki rambut ikal dan sedikit berkumis melanjutkan pekerjaannya di bengkel yang satu rumah dengannya. Ia bekerja sebagai teknis sudah cukup lama, kira-kira setelah selesai di STM langsung kerja di bengkel. Langganannya juga cukup banyak. Hampir setiap hari keluar masuk. Ia bekerja seorang diri tanpa rekan ataupun teman. Inilah satu-satunya keahlian yang ia miliki.

Hari telah senja matahari mulai merunduk di dela-sela pepohonan, seolah ingin menghindar dari siang. Angin berhembus lamban menjemput kedamaian malam. Malam yang selalu dinantikan oleh kelawar dan maling.

Empat tahun telah berlalu. Mengilang begitu saja. Semua telah berubah. Tapi, betulkah segala sesuatu telah berubah? Seperti doktrinnya Heraklitus yang mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan secara terus menerus. Atau sebaliknya tak ada yang berubah sedikit pun. Sebagimana bantahan Parminedces terhadap Heraklitus bahwa tak sesuatupun yang berubah.

Usia berjalan.. masa kecil juga berjalan .. waktupun enggan beristirahat. Tak terasa bergulir diantara dunia kata. Rhea kini sudah duduk di kelas lima. Pertumbuhannya amat cepat. Ia semakin besar cantik dan pintar. Tapi dunia ini tidak lepas dari kemungkinan. Seperti yang dialami keluarga pak Hadi saat ini.

Menginjak kelas lima tahun pertama Rhea, putri pak Hadi mendapat banyak permasalahan. Nilainya lambat laun turun drastis. Padahal ia anak rajin dan pintar. Rhea sering di panggil ke kantor untuk menghadap wali kelasnya. Menanyakan perihal apa yang terjadi. Guru wali muridnya menyuruh Rhea agar mengajak orang tuanya ke sekolah. Surat panggilan yang di bawa Rhea tidak pernah sampai ke Bapaknya. Sudah tiga kali surat itu ia sobek.

“Aku tidak ingin teman-temanku tahu siapa bapakku? Biarkan saja surat ini ku buang” Rhea berkata dalam hati.

Rhea pulang dengan muka kusut. Setibanya dirumah langsung menuju ke kamar dan mengonci dari dalam. Pak Hadi tampak bingung melihat tingkah laku putrinya yang tidak seperti biasanya. Hati kecilnya bertanya “Ada apa dengan putriku, kenapa ia berubah, tidak pernah menyapa, tidak pernah tersenyum lagi?”

Pak Hadi menghentikan pekerjaanya sejenak dan mengetuk pintu kamar putrinya. “Rhea, anak ku buka pintunya, bapak mau masuk!” pinta pak Hadi sambil mengetuk pintu.

Daun pintu itu terbuka. Terlihat Rhea sedang duduk membisu di atas kasur. Pak Hadi mendekati dan membelainya dengan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Tapi Rhea bergeser dan menjauh. Pak Hadi makin heran. “Ada apa nak?” Tanya pak Hadi sambil mengarahkan kedua belah tangannya kepada Rhea. Tapi Rhea makin menjauh dan bahkan mengeluarkan kata-kata diluar dugaan pak Hadi. Sungguh kata-kata itu sangat kasar.

“Kamu bukan bapakku!!!” teriak Rhea sembari menjauh dari bapaknya.

“Astahfirullah,,,, ada apa dengan kamu nak?” ucap pak Hadi seakan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh putrinya.

“Tidak, kamu bukan bapakku. Tidak mungkin bapakku cebol”

“Ya Allah, mengapa kamu berbicara seperti itu anakku?

“Aku mau pergi” Sentak Rhea.

Rhea berlalu di depan bapaknya. Entah kemana ia akan pergi. Tidak lama dari kepergian putrinya, tiba-tiba ibu guru wali kelasnya datang menemui pak Hadi.

“Eh,,, Bu Tini, ada apa dengan motornya, ada yang perlu di perbaiki? Tanya pak Hadi pada Bu Tini.

“Ah tidak, aku hanya ingin melihat kabar bapak. Soalnya kemarin ada pertemuan wali kelas, tapi bapak tidak hadir. Lalu Rhea bilang kalau bapak sakit”

“Apa,,, sakit, aku sehat-sehat saja kok, nih bu Tini lihat sendiri’

“Tapi mengapa Rhea kemarin bilang sakit? O ya,,, apa surat undangan sudah disampaikan oleh Rhea?”

“Surat undangan pertemuan wali, sampai sekarang aku tidak menerimanya” papar pak Hadi.

Bu Tini tampak heran. Sudah tiga kali surat undangan itu diberikan ke murid untuk disampaikan kepada orang tua mereka. Pertama Rhea bilang bapak sakit, kedua lagi sibuk, dan kemarin Pak Adrik yang mengambil raport, katanya bapak pergi ke luar kota. Sekarang Rhea banyak berubah, jarang masuk kelas, sering terlambat, banyak diam, nilainya turun. “Sebenarnya ada apa dengan Rhea?” Tanya Bu Tini dengan heran.

“Waduh, Rhea berbohong rupanya, tapi mengapa?” Tanya pak Hadi dalam hatinya.

Pak Hadi larut dalam lamunan. Ada apa dengan putriku? Mengapa ia berbohong? Tidak pernah hal ini terjadi semasa hidupnya. Tapi kali ini. “Oh Tuhan, lindungilah dia”.

“Pak Hadi, ada apa? Tanya bu Tini

“Ah tidak” jawab pak Hadi kaget.

“Sebenarnya ada apa pak Hadi? Tanya bu Tini penasaran.

“Ya beginilah nasib orang sepertiku. Anakku mungkin merasa malu memiliki bapak yang tidak seperti yang lainnya” papar pak Hadi dengan sedih.

“Pak Hadi mesti bersyukur, tidak banyak orang yang memiliki keahlian seperti bapak. Masih banyak orang yang di bawah pak Hadi, tak memiliki kaki dan tak memiliki keluarga” Bu Tini memberikan semangat pada Pak Hadi.

“Tapi ada apa dengan putriku” Tanya pak Hadi dengan dirinya sendiri.

***

Matahari tepat di atas kepala. Teriknya matahari tak mengurangi semangat pak Hadi membanting tulang. Tapi akhir-akhir ini pak Hadi sering melamun. Apalagi yang ia pikirkan kalau bukan putrinya semata wayang. Siang itu putrinya sudah pulang. Seperti biasa tanpa menyapa bapaknya, Rhea menuju ke kamar dan mengonci pintu.

Pak Hadi dengan sabar mengetok dan menghampiri putrinya.

“Rhea, akhir-akhir ini kamu kelihatan aneh, ada apa anakku?”

“Rhea hanya diam membisu”

“Kenapa kamu berbohong kepada bapak, waktu rapat wali kelas kamu bilang bapak sakit, waktu pembagian raport kamu suruh pak Adrik dan bilang kalau bapak ke luar kota, mengapa kamu seperti itu kepada bapak? Padahal bapak sangat menyanyangi kamu”

Muka Rhea menjadi merah, apa yang selama ini ia lakukan ketahuan juga oleh bapaknya. Ia tidak bisa berkata lagi, selain tidak bisa menerima semua itu.

“Tidak,,,Jangan dekati aku, kamu bukan bapakku, bapakku tidak cebol, aku akan mencari bapakku” sentak Rhea dan meninggalkan gubuk reot itu.

Pak Hadi tercengan sejenak, baru ia sadar kalau putrinya sudah pergi dihadapannya. Ia berusaha mengejar. Rhea mau kemana kamu nak? Jangan pergi. Jangan tinggalkan bapak sendirian? Rhea makin lama makin hilang ditelan jarak. Usaha pak Hadi sia-sia. Ia sudah mencari sampai larut malam. Sehari, dua hari ia mencari putrinya namun tak membuahkan hasil.

Sudah empat hari pak Hadi mencari putrinya yang hilang, akhirnya Ia menyerah pulang. Setibanya dirumah ia kaget bukan main. Kamar putrinya telah kosong. Pak Hadi menangis mencucurkan air matanya. Keduabola matanya berlinang butiran mutia yang bening, butiran mutiara itu menunjukkan rasa bersalah pak Hadi atas amanah yang diberikan namun gagal. “ Ya Tuhan,,, Kau memang benar-benar kejam, sekarang lihat, lihatlah, silahkan ambil apalagi yang bisa Engkau ambil, dulu Kau ambil istriku tercinta, lalu Kau ganti dengan putriku, sekarang,,, entah apalagi yang ingin Kau ambil” berontak pak Hadi dalam hatinya.

Matahari senja turun terus. Terus turun. Menghilang di ufuk sana. Azan mahrib pun menggema, mengalun mendayu memainkan irama alam. Menyambut kedatangan raja malam. Pak Hadi nampak cemas. Gurat-gurat diwajahnya menunjukkan kalau ia nampak lelah. Kedua bola matanya sudak tidak bisa di ajak untuk kompromi lagi. Pak Hadi pun tertidur di alam kerajaan malam.

***

Pagi yang menggelisahkan, deru bus kota berpacu saling kebut tak mau ketinggalan untuk mengais secuil rezeki di hamparan dunia fana. Lelaki yang mendekati kepala tiga itu melaju dengan langkah gontai menelusuri trotoar mencari putrinya semata wayang. Telah sekian kilometer ia tempuh. Telah berhari-hari ia lalui, namun tak kunjung jua ia menemukan putrinya.

“Pak Hadi kemana saja?” Tanya bu Tini , kala berpapasan dengan pak Hadi di persimpangan jalan.

“Saya mencari putri saya, Rhea. Apakah ibu melihat putri saya?” Tanya pak Hadi.

“Baru saja saya mau memberitahukan tentang putri bapak. Rhea sekarang berada di rumah sakit, ia mengalami kecelakaan tadi pagi” Papar bu Tini dengan turut bersedih atas kejadian yang menimpa putrinya.

“Apa…!!!” Sahut pak Hadi dengan nada kaget, dan gugup.

“Iya,,, sekarang mari kita pergi melihat putri bapak di rumahh sakit”

Pak Hadi dan bu Tini langsung melejit ke rumah sakit dimana Rhea sedang dirawat. Perasaaan pak Hadi semakin tidak karuan. Ia beharap semoga saja putrinya tidak apa-apa.

“Dok, gimana keadaan putri saya?” Tanya pak Hadi kepada dokter yang merawat putrinya.

“Bapak ayahnya?” Sahut dokter itu.

“Iya, gimana dok?”

“Putri bapak mengalami luka yang serius, ia membutuhkan satu ginjal. Hanya itu yang dibutuhkan agar putri bapak bisa sembuh. Sekarang bapak harus mencarinya untuk menganti ginjal putri bapak” papar dokter kepada pak Hadi.

“Ginjal,,,!” ulang pak Hadi dalam hati. “Kemana saya akan mencari ginjal, kalaupun ketemu dengan apa saya akan membayarnya? Ya Tuhan, begitu berat cobaan hidup ini, mengapa? Mengapa Tuhan?” Kecamuk dalam diri pak Hadi.

“Gimana?” Tanya Dokter

“Saya bersedia untuk memberikan ginjal saya pak”

“Bapak pertimbangkan sekali lagi”

“Saya siap melakukan apa saja demi putri saya, sekarang lakukanlah operasi” Pinta pak Hadi.

Operasi pun berlanjut. Dengan sabar dan tabah Pak Hadi telah menentukan pilihan untuk memberikan ginjalnya. Pak Hadi merasa sangat senang dapat membatu putrinya. Operasi berlangsung selama kurang lebih dua jam, Rhea pun siuman dari lelapnya alam bawah sadar. Ia belum tahu siapa yang telah memberikan ginjal kepadanya. Ia hanya melihat ibu gurunya, Ibu Tini.

“Bu, siapa yang telah menolong saya” Tanya Rhea dengan nada yang lemas.

“Dia adalah orang yang sangat dekat dengamu”

“Siapa?” Tanya Rhea ingin tahu.

“Dia sangat baik dan sayang padamu”

“Siapa?” Rhea semakin penasaran.

“Dia adalah bapakmu sendiri. Bapakmu yang telah memberikan salah satu ginjalnya padamu, sehingga kamu menjadi sembuh. Bersyukurlah”

“Sekarang bapakku dimana?

“Dia sedang istirahat”

“Aku ingin bertemu bapak ku” Pinta Rhea.

“Nanti saja kalau kamu sudah sembuh total”

“Tidak. Aku ingin bertemu sekarang”

“Rhea, anak yang baik. Kamu harus tabah dan sabar. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini banyak yang tak dapat di pahami oleh manusia. Itulah bagian dari misteri kehidupan. Tuhan mengetahui mana yang terbaik buat ummat-Nya. Apa yang Ia ambil tidaklah sebanding dengan yang telah Ia berikan. Semua berasal dari-Nya dan akan kembali jua kepada-Nya. Tuhan mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Bersyukurlah atas nikmat dan karunia yang telah Ia berikan pada kita.” Papar bu Tini degan lembut dan penuh kasih sayang.

Mendengar penjelasan itu, Rhea terdiam seribu bahasa. Butiran mutiara bening berlinang di kedua belah pipinya. Ia teringat akan semua kesalahan yang telah ia lakukan selama ini. Sekarang ia merasakan kasih sayang itu. Ia butuh tempat bersandar, kasih sayang dan perlindungan. Tapi semua itu tingal harapan semu.

Gambiran dalam naungan raja malam

Yogyakarta, 6 September 2006

Pukul 00.10”

No comments: