Monday, November 11, 2013

Makna di balik angka 8

Makna di balik angka 8

Apakah anda memiliki angka favorit? Atau mungkin angka 8 sebagai angka favorit anda? Sebenarnya semua angka memiliki hal yang istimewa, namun tentang angka 8 ini sangat unik untuk dibahas. Terdapat deret angka dari 1 sampai 10 di dunia ini. Namun ada salah satu angka yang cukup menjadi perbincangan diberbagai kalangan, dan mempunyai banyak arti-arti didalamnya, yakni angka 8. Angka 8 dianggap sebagai angka yang sempurna, karena bila kita teliti, angka 8 adalah angka yang tidak terputus dalam penulisannya. Dan juga, Angka delapan secara matematis adalah perpaduan dari dua angka yang sama, yakni 4, walaupun tidak terlalu hebat perkalian angka 4, namun akan sedikit lebih menarik jika diurutkan angka 2 sebanyak 4 kali, ternyata jumlahnya pun 8. Mau dibuktikan?
Perhatikanlah penjumlahan dan perkalian dengan angka 8 berikut ini! Anda akan mengetahui bahwa angka 8 memang mempunyai keunikan yang khas.

1 + (8 x 1)
2 + (8 x 12)
3 + (8 x 123)
4 + (8 x 1234)
5 + (8 x 12345)
6 + (8 x 123456)
7 + (8 x 1234567)
8 + (8 x 12345678)
9 + (8 x 123456789)

Hasilnya luar biasa sekali, ternyata sangat unik. Inilah hasil penjumlahannya:
9
98
987
9876
98765
987654
9876543
98765432
987654321

Atau
1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 1 = 98
123 x 8 + 1 = 987
1234 x 8 + 1 = 9876
12345 x 8 + 1 = 98765
123456 x 8 + 1 = 987654
1234567 x 8 + 1 = 9876543
12345678 x 8 + 1 = 98765432
123456789 x 8 + 1 = 987654321
TETANDAKAH
Diri ini telah belajar arti sebuah kesetiaan dari penghianatan, arti kejujuran dari kebohongan, arti kasih sayang tulus dari fatamorgana serta senyum dari luka ketidakpercayaan. Baru beberapa tahun kenangan pahit berlalu, namun kini terasa seperti kemarin. A sa kepercayaan yang diberikan dan dibina ternyata hanya dianggap laksana angin lalu. Verba Volant.
Ya… mungkin diri ini terlalu naïf untuk mengakui arti kelemahan dan kecerobohan. Hari dimana dunia ini terasa indah nan bermakna dalam satu belaian kasih terasa sunyi, keceriaan haripun terasa terbenam bersama angin senja disela-sela pepohonan.
Bukan bermaksud menyakiti pun mengecewakan atas sikap demikian, hanya saja diri ini ingin agar dirimu tau. Diri ini sangat menyayangkan kenapa harus bersikap demikian. Suatu yang mahfun jika salah dan khilaf selalu ada dan akan terus ada pada manusia, bukankah hal demikian juga yang melegitimasi kata maaf. Tidak ada satupun mahluk yang bernama manusia diacuhkan akan merasa senang, apatalagi dianggap sosok benda mati dalam ornament semesta. Rasanya diri ini ingin menangis dikala mengatakan “Muleh Mbah”. Hanya saja diri ini bersyukur ada kata-kata yang menyadarkan. Maaf jika diri ini telah menyakiti. Maaf jika diri ini telah mengganggu.
Ya… Rabb, tolong bimbing dan tabahkan hambamu yang lemah in.

Sunday, October 27, 2013

Jembatan Kasih



Kepedihan Hati Kutanggalkan antara onak berduri dikebimbangan yang menunaikan asa dalam penantian seribu paraoia membersihkan kepercayaan abadi walau tertanggal hiduppun tak akan perduli, rindupun kembali hadir bahwa seribu nuasa dalam melodi menunggu jembatan kasih terkuak iris kenangan meraup bahagia disela rinai tangis dan tawa



gemericik embun senja menemani sang surya menuju peraduan, mengendap disela-selah pepohonan, hilang ditelan jarak

Sunday, August 5, 2012

Quo Vadis of Philosophy

FILSAFAT ILMU
Oleh: Sulhaidi

Selamat memasuki dunia kebingungan, diantara entah dan mengapa !!!


A. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat bersasal dari kata Yunani “Philosophia”. Philos berarti suka atau cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Sedangkan dilihat dari segi praktis makna filsafat berarti alam berfikir atau alam fikiran. Berfilsafat berarti berfikir. Meskipun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat berarti berfikir a la mendalam, radikal dan sungguh-sungguh.

Dalam filsafat ada empat unsur utama, yaitu;

1. metafisika
2. logika
3. epistemologi
4. ontologi

Empat Cabang Filsafat

Filsafat diartikan sebagai berpikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja. Bebas artinya dapat memilih apa saja untuk dipikirkan, tidak ada yang haram untuk dipikirkan, semuanya tergantung pada apa pilihan dan kesanggupan seseorang untuk memikirkannya.
Radikal artinya radix, akar, sehingga berpikir radikal artinya berpikir sampai keakar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahlan melampaui batas-batas fisik – metafisis.
Dalam tataran makna berarti mencari hakekat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran. Berpikir dalam dataran makna bukan dan tidak dipakai untuk menjawab persoalan teknis, seperti bagaimana caranya membuat kue serabi. Akan tetapi menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu.

B. FILSAFAT ILMU

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Oleh karena itu, diperlukan perenungan secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat.
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan bebas, radikal dan dalam tataran makna tentang Tuhan, alam dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.

C. Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

D. PENDEKATAN STUDY FILSAFAT

1. historis
2. analitis
3. metodologis
4. eksistensial
5. terpadu

E. Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu

a. Dari segi objek
Ilmu mengkaji hal-hal yang dapat diindera untuk meletakkan teori-teori umum yang menafsirkannya. Contoh ilmu fisika, maka objeknya didasarkan pada jumlah (kuantitas) dan skala. (skala kecepatan materi atau panjang sinar dan gelombang). Sedangkan filsafat tidak terbatas pada skala maupun kuantitas, bahkan melebihi realitas.

b. Dari segi metode
Ilmu menciptakan metode sensitivistik-empiris (observasi, measuring, explaining, verifying) dengan tujuan untuk menemukan sebab-sebab langsung dari fenomena-fenomena alam yang dikajinya, seperti menafsirkan didih air pada tingkat tertentu. Sedangkan metode filsafat adalah metode rasional-deduktif, tidak berhenti pada deskripsi atas apa yang dikaji. Namun lebih dari itu dan berusaha untuk merasionalisasikannya. Ia tidak mencari sebab-sebab yang terdekat dan langsung tetapi mencari sebab pertama dan tujuan yang jauh. Misalnya mencari sebab dari alam kosmik secara global atau rahasia kehidupan.

c. Pengaruh dalam kehidupan manusia
Ilmu pengetahuan telah menyediakan telah mampu menyediakan jalan yang sangat mudah bagi kehidupan manusia, berupa sarana-sarana peradaban dan kesejahteraan modern. Namun ilmu tidak mampu memenuhi sisi-sisi ruhaniah manusia dan mengarahkannya kepada cita-cita tertinggi dari kehidupannya, yaitu kebahagiaan dan kesempurnaan. Karena itu manusia perlu mengarahkan pandangannya ke sumber lain, yaitu filsafat.


F. Metodelogi Pengetahuan

Metodelogi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodelogi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika, yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Manakala kita membicarakan metodelogi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.

Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai¬mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko¬herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

Akslologi llmu meliputi nilal nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.

Demikianlah kini terasa adanya kekaburan mengenai batas batas antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu menjadi terasa pula. Oleh karena itu dibutuhkan suatu “overview” untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang integral dan integratif. Kehadiran etik dan moral menjadi semakin dirasakan, sikap pandang bahwa ilmu adalah bebas nilal semakin ditinggalkan. Tanggung jawab dan integritas seorang ilmuwan kini sedang diuji.

Karena Immanuel Kant (1724 1804) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin Ilmu yang mampu menunjukkan batas batas dan ruang Lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatlan. Lahirlah di abad ke 18 cabang filsafat yang disebut sebagai Filsafat Pengetahuan (Theori of Knowledge, Erlzenntstlehre, Rennesleer atau Epistemologi) di mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen komponen pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan sarana itu guna menpapal pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula arti evidensi, syarat syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, batas validitasnya.

Dengan mendasarkan diri atas sumber sumber atau sarana tertentu seperti panca indera, akal (Verstand), akal budi (Vemunft) dan intuisi, berkembanglah berbagai macam school of thought. yaitu empirisme (John Locke), rasionalisme (Descartes), kritisisme (Immanuel Kant), positifisme (Auguste Compte), fenomenologi (Husserl), konstruktivisme (Feyerabend), dan lain lainnya yang muncul sebagai upaya pembaharuan.

Uraian diatas merupakan kilas balik perkembangan ilmu pengetahuan yang haus akan interpretasi secara kotinuitas. Sepanjang sejarahnya, filsafat telah terkoyak-koyak oleh konflik antara kaum rasionalis dan empiris. Satu pihak menekankan peranan logika dan yang lainnya menekankan pengalaman. Disinilah kita perlu mempelajari filsafat ilmu sebagai penjembatan ilmu yang telah terputus dari induknya. Namun yang jelas bagi kita adalah bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh dengan pengalaman terlepas dari logika atau dengan logika terlepas dari pengalaman. Tanpa penggunaan logika, manusia tidak memiliki metode untuk menarik kesimpulan dari data perseptualnya; ia harus membatasi jarak jangkau momen observasi, selain fantasi perceptual yang terjadi padanya dikualifikasikan sebagai kemungkinan masa depan yang dapat menginvalidasi proposisi “empiris”-nya. Dan tanpa mengacu pada fakta pengalaman, manusia tidak memiliki dasar untuk proposisi “logis”-nya yang menjadi produk arbitrer dari temuannya sendiri.


Kisah sejarah yang karut dan bengis telah ditulis dengan irasionalitas manusia, dan lapisan tipis, rapuh peradaban yang telah terbentuk dengan susah payah diatas gundukan berdarah itu senantiasa dibangun dengan nalar.
- Barbara Wootton -

G. Tujuan mempelajari Filsafat Ilmu

1. Filsafat ilmu bisa menjadi modal dasar untuk seorang calon sarjana, bagaimana cara ia mengaktualisasikan pemikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan keilmuan dan kehidupan dari tatanan teoritis sampai pada tataran aplikatif
2. Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia akan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.
3. Memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektual.



“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam adanya siang adalah tanda tanda bagi orang orang yang mempunyai aqal.“(Qs. An- nisa 190)



Daftar Bacaan:

Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj. Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung: 1984
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu. Bandung: 1979.
Asy’ariu, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESFI, Yogya: 1999.
Ba’ayien, Arsyad, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, URCISOD, Yogyakarta: 1978.
Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat, Widya, Jakarta, 1970.
Beerling dkk., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soedjono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta: 1986.
Calne, B Donald, Batas Nalar, Rasionalitas dan Prilaku Manusia, Gramedia, Jakarta: 2005.
Ewing, A. C, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Hadi, Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
Mustansyir, Rizal, dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat, Putaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Soemargono, Soedjono, Filsafat Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta: 1983.
The Liang Gie., Lintasan Sejarah Ilmu”, Cet. Ke-1, PUBIB (Pusat Belajar Ilmu Berguna) Yogyakarta: 1998.
The Liang Gie., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta: 1999.

Wednesday, February 4, 2009

Ornament ruang sidang

Ornament ruang sidang
Cerpen: Sulhaidi

Aku bukan siapa-siapa dan putra dari bukan siapa-siapa. Jangan tanya siapa aku dan jangan tanya aku untuk tidak berubah. Aku hanya anak rantau yang punya segudang penderitaan. Pulang di marah, hilang tak di cari mati tak di tangisi.
Aku seorang pria gila!! Gila karena cinta.
O Cintaku kepadamu yang membuatku menari, aku mabuk, aku gila
Apa mesti bisa kulakukan ?
Wahai cahaya kami, pesta kami. Wahai kebahagiaan kami yang menang. Arahkan kami.

SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT
Yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin

Ruang sidang itu kira-kira berukuran 4×6 meter persegi. Posisinya diapit oleh perpustakaan dan sebuah organ pergerakan. Ruang sidang ini boleh dibilang paling kecil diantara yang besar. Biasanya digunakan untuk rapat, kuliah, audiensi dan lain-lain. Kalau difikir-fikir kurang kondusif memang sebab sangat terbatas. Korsi yang tertata kurang lebih dua puluh sandaran. Laris. Kecil namun segudang manfaat. Sementara tepat di sebelah barat terdapat sebuah ruangan yang bertuliskan UPT. Perpustakaan. Lumayan walau masih ketinggalan jauh dari universitas-iniversitas kenamaan di kota gudeg ini. Tempat ini ramai kalau saat saat tertentu. Jam kosong, cari referensi atau hanya sekedar iseng. Sudah lebih dari empat semester aku tidak menginjakkan kaki di ruang kutu buku ini. Tak ada niat sama sekali untuk masuk apalagi untuk meminjam buku. Yang tersedia hanya lembaran-lembaran dokumen usang. Behind the time. Kalaupun ada yang baru hanya dipajang di etalase. Padahal dana untuk Perpustakaan tergolong lumayan tapi… ah persetan, it’s not my bussines. Gumamku. Aku hanya ingin merangkai kata dalam kesunyian ruang sidang. Sebelumnya aku akan menumpahkan tinta hitam ini tentang organisasi dimana aku berkutat, membenturkan kepala dan otak.
Semester tiga turut surut tenggelam bersama si jargon merah. Awal kurasakan sangat cocok, hitung-hitung sebagai tempat untuk menutupi lobang-lobang yang masih bocor. Ruangnya sangat kecil. Terkadang kalau ada rapat atau diskusi ada yang harus di luar sehingga membuat ruangan menjadi pengap. Kawan-kawan menyebutnya “Lorong Bawah Tanggalah”, “Istana Bawah Tanggalah” atau “IBATA”. Berjuta warna berkumpul dalam ruang yang sempit itu. Dari Sabang sampai Merauke bahkan dari Thailand. Kolektif kolegial yang membuatku terharu. Itulah yang coba di bangun dalam lorong bawah tangga, lorong tangan-tangan malaikat kecil. Siang dan malam mereka rapat dan diskusi. Hampir tidak ada libur. Berbagai macam wacana di bahas. Mulai yang berbau ke kanan-kananan hingga ke kiri-kirian, normatif, ekstrem, radikal dan moderat.
Diskusi merupakan kegiatan yang paling aku sukai diantara yang lainnya. Di sinilah aku belajar mengasah otak, bersilat lidah dan membabat habis semua yang bertentangan denganku, sebagaimana organ-organ lainnya. Saya percaya antinomi atas antinomi pasti berlaku laiknya banyak Filosof berkata “konstruksi tanpa kritisisme menuju kebutaan dan kritisisme tanpa konstruksi hanya menuju kehampaan/ketiadaan”.
Disini juga aku memasuki dunia baru. Dunia kegilaan. Filsafat. Antara yang minim dari yang diminati. Berawal dari kebingungan berbaur dengan ketidaktahuan berakhir dengan kebingungan, syarat dengan dunia abstrak. Koleksiku sudah mencapai ratusan buku. Mulai dari Thales, Socrates, Karl Marx, Derida, Focoult hingga filosof gila Nietzche, masih banyak filosof-filosof lain yang tak mampu ku tulis dalam lembaran kertas putih ini. Dunia filsafat telah melupakan jurusan kuliah yang ku ambil. Bahasa Inggris. Aku jenuh, bosan dengan bahasa Inggris, terlalu banyak formula yang harus di hapal. Sementara kepala ku sangat kecil tentu saja otakku terbatas. Aku mulai meninggalkan kelas, apalagi ditambah beberapa dosen membuatku muak tuk menatap mukanya. Aku telah gila, mabuk dengan duniaku. Tuhan telah gilakan aku karena Ia sehingga tampak menjadi gila. Itulah yang coba kutelanjangi dari kedua bibir sosok panutan umat muslim seantero dunia. Muhammad. ”Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu”. “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya”. Secara esensi tidak ada manusia yang mampu menembus ucapan itu, tapi paling tidak kita dituntut untuk mengetahui hakekat kehidupan. Sungguh abstrak. Wajar jika minim yang bergelut di bidang ini. Difikir-fikir secara rasional menghamburkan waktu. Tak ada yang di hasilkan hanya dengan duduk dan termenung. Memikirkan dunia kehampaan dalam dunia abstrak. Inilah celoteh orang modern dalam dunia yang dilipat. Demitologisasi yang kebablasan. Sungguh superfarsial pikiran itu. Dan aku berbalik radius. Perbedaan yang sangat mencolok diantara kawan-kawan pergerakan. Aku sering di juluki filosof gila, atheis, dan bahkan sekuler. Akal dan jiwa ku sudah gila. Aku senang sebab aku faham apa yang dilemparkan, lagi pula itu hanyalah penilaian. Hanya Tuhan terkasih dan aku yang tahu aku gila atau tidak. Pelontar hanya sebatas tahu di bawah faham, setipis kulit bawang perbedaannya, tapi melebihi eksistensi manusia dan dunia dimana kakinya berpijak. Sangat berat memang, maka wajar orang awam beranggapan belajar filsafat bisa gila. Tapi aku sepakat dengan Louis O Kattsof yang mengatakan bahwa “Siapapun dia selama dia mampu berfikir secara sehat maka dia mampu berfilsafat”.
Aku teringat dengan paradoks yang di ucapkan seorang sufi dan penyair Persia tersohor. Rumi. Beliau menggambarkan bahaya ini dalam kisahnya tentang pencuri yang masuk ke sebuah kebun dan mencuri beberapa buah delima. Sang pemilik tiba-tiba berada di sana dan menagkap basah dia.
“Apakah kamu takut kepada Tuhan?” dia bertanya kepada sang pencuri.
“Mengapa aku harus takut?” jawab lelaki itu. “Pohon ini milik Tuhan, buah delima ini milik Tuhan dan aku adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan tidak lain memakan barang milik Tuhan”.
Kemudian, pemilik kebun memerintahkan para pelayannya untuk menarik sebuah tambang dan mengikat lelaki itu di pohon.
“Inilah jawabanku” kata lelaki pemilik kebun ketika dia mulai memukul pencuri itu, sebagai reaksinya pencuri itu berteriak:
“Apakah kamu tidak takut Tuhan?”
Dengan tersenyum, pemilik kebun menjawab” mengapa aku harus takut? Ini tongkat Tuhan, tambang inipun milik Tuhan dan kamu hamba Tuhan. Jadi, aku sedang memukul hamba Tuhan dengan tongkat Tuhan”.
Aku berfikir. Tuhan itu kadang lucu, ya? Dan aku jika memikirkan-Nya kadang-kadang tertawa sendiri, sehingga gigiku yang putih bersinar ini tampak. Sungguh merangsang alam imajinasiku yang selama ini terlelap bersama tradisi. Budaya yang tidak bisa ku terima secara rasional. Aku mulai saja dari bagian tersulit dan penuh resiko ini.
Sebagai aufklarung, aku membaca buku-buku yang berbau normatif terutama dunia tasawuf. Rumi dan Muhammad Iqbal merupakan tokoh yang sangat ku senangi. Keindahan puisi dan syair-syair mereka mengandung aroma estetik yang membuat bulu kudukku merinding, hingga aku pun ikut mabuk dengan racun-racun yang di tinggalkan. Filsafat mengutamakan rasio dan akal dalam berfikir secara radikal dan eklektis sedang tasawuf mengutamakan hati dan spiritual. Bergelut dalam gelombang dua dunia inilah membuatku menemukan citra diri sebagai seorang manusia dan sadar betul siapa “aku”?. Dalam dunia tasawuf juga aku menemukan makna kedalaman cinta. Ya… misteri yang tak dapat dipecahklan hingga sekarang dan entah sampai kapan. Sesuatu yang abstark, suci dan sakral namun mampu menghancurkan sesuatu yang kongkret.
Di organisasi inilah aku mulai belajar membaca. Tersurat maupun tersirat. Aku membaca bukan karena didorong oleh kehendak untuk menulis. Tidak. Aku membaca karena itulah kelemahanku. Kesadaran telah menampar otakku. Aku belum bisa membaca baik dalam arti membaca yang mencoba menganalisa. Di tilik dari jelujur masa silam, aku tak pernah tahu dengan teks. Seperti orang kebanyakan, yang tuna dengan sebarisan huruf yang membentuk parafrase teks yang melentur dalam buku.
Dari buku aku belajar mengungkap sesuatu yang bersemayam di alam pikiran. Mencoba mengaplikasikan secara sistematis. Walau tulisannya berat-berat dan bahasanya melangit. Istilah-istilah yang digunakan bukan istilah biasa tapi istilah yang entah dicopot dari mana. Hal ini kurasakan ketika membaca buku yang berjudul “Menggugat sejarah ide” karya Focoult. Tapi aku tidak mau mati dalam komunitas, maka mencoba dan terus mencoba. Trial and error.
Timbul keinginan untuk menulis atau sejenisnya, harapanku kelak dapat didiskusikan atau dipresentasikan. Kali pertama aku menulis sebuah makalah dengan tema “Komodifikasi Pendidikan dalam Zaman Kontemporer”, “Wanita Kontemporer” lalu “Ontologi Cinta”, “Metafisika unsur utama dalam Filsafat”, ”Dekadensi Moral”, “Pendidikan Anak dalam Islam”, ”Element of Philosophy (Pengantar Filsafat)”, ”Pendidikan dalam Lingkaran setan”, “Filsafat Pendidikan”, dan terakhir sebagai pengejawantahan dari visi dan misi kala kawan-kawan seangkatan mencoba menggagas substratum sebagai landasan. Tepatnya Workshop Pendidikan dan Dikpol (Pendidikan Politik). Gerakan Mahasiswa antara Intelektual dan Sinergisitas. Sungguh merangsang temanya. Itulah beberapa tulisanku. Bukan asli sebab hanya memindahkan dari berbagai referensi yang ku punya. Aku hanya meracik dan menjahit-jahitnya sehingga mempunyai rangkaian makna walau masih banyak terdapat kecacatan. Aku sadar ini hanyalah plagiasi, namun siapa sih kali pertama menulis tidak melakukan ini. Bahkan Jean Paul Sarte, Filsuf eksistensialisme sayap kiri Prancis pun melakukan hal ini ketika pertama kali menulis novel. Pour an Papillon (Demi Kupu-kup).
Aku teringat kata-kata Prof. Djohar, Rektor UST ketika menghadiri seminar di UGM. Beliau mengatakan bahwa: “Penulis Indonesia ini hanyalah penggali sampah tidak ada yang orisinil”. Senada yang diucapkan Roland Barthes, pada dasarnya tulisan itu tidak ada yang orisinil: teks adalah sesuatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Semua itu tidak membuat nyaliku ciut untuk belajar menulis walau hanya sebagai plagiasitor.
Buku-buku yang sudah ku baca dan kutulis merupakan modal yang selama ini membuatku buta huruf, berfikir dan menulis. Semua ku bakar dalam diskusi, seminar dan sejenianya, tak jarang juga aku menempel coretan diding di tengah-tengah riuhnya papan yang berserak.
Istana Bawah Tangga – ISBATA — yang terletak di tengah-tengah BEMF Sastra dan Perpustakaan itu tidak pernah sepi dengan aktivis, entah aktivis tulen atau kacangan. Di sini juga aku mengenal seorang mahasiswi yang berasal dari Pemalang. Sebut saja namanya Yanti. Melaui dia aku banyak melakukan sharing atau diskusi, baik formal maupun non formal.
Lima bulan kurang lebih aku turut bergabung dan tenggelam bersama si Merah. Semula berjalan biasa-biasa saja, tak terbesit hal-hal lain apalagi perasaan. Tapi aku yakin semua organisasi tidak ada yang sempurna dalam artian pasti mengalami kecacatan. Begitu juga dengan organisasi dimana aku bergabung mulai kehilangan ruh. Padahal ruh merupakan elan vital bagi pergerakan. Laksana jiwa bila tanpa ruh, bangkai yang tergeletak. Permasalahan mulai berontak. Hedonisme, individualisme bidang hingga romantisme. Pada titik inilah hesitasi ku melonjak, jenuh dan bosan. Rapatpun digelar. Hampir tiap minggu diadakan rapat dengan harapan semua permasalahan dapat selesai. Aku kembali berfikir apakah sebuah masalah akan selesai hanya dengan rapat? Tidak. Rapat merupakan media mencari solusi. Sementara hasilnya harus di aplikasikan. Teringat olehku perkataan Freire. Penggagas pendidikan kritis. Beliau mengatakan bahwa antara media teoritis dan praktis harus seiring sejalan sehingga memasuki tataran praksis tidak mengalami kepincangan yang teramat sangat. Konsep tinggal konsep dan teori tinggalah teori. Keduanya belum tentu bisa mesra dengan realita. Etre Pour Soi tambahnya. Di sinilah tingkat kulminasi ku mulai kedodoran hingga pernah suatu ketika dalam Rapim –rapat pimpinan- sengaja aku molor satu jam bersama temanku. Budi. Sebelumnya aku bilang sama Budi:
“Bud, malam ini ada rapat pimpinan, bagaimana kalau kita tidak datang?”
“Aku sih oke-oke saja” jawab Aris singkat
“Tapi kita ke tempat Adrik dulu” ajakku
Kami pun bergegas melangkahkan kaki menuju sorga Adrik. Malam yang gelisah menemani perjalanan. Purnama menyinari kecemasan malam, menembus lorong-lorong gelap. Pepohonan tampak menari-nari menghiasi taman sorga kediaman Adrik. Yang lain membeku dalam halimun yang bermandi cahaya taram bulan. Sungguh sial malam ini, Adrik pergi entah kemana. Bingung. Hening. Kecemasan malam benar-benar tidak bersahabat. Beberapa menit kemudian berhala kecil ku berbunyi. Sms. “Boy, Bud cepatan ke kampus ada dua orang yang menangis”. Alang kepalang kaget bukan main. Apa gerangan ? Di tengah kecemasan yang memuncak kami melejit menuju dunia mahasiswa. Rapat kali ini ternyata rapat ajang justifikasi, inilah moment yang ditunggu-tunggu. Kali ini sangat serius. Kekecewaan, emosi dan air mata bercucuran yang terlihat. Aku hanya terpaku. Jiwaku diam-diam berontak. Menjelang akhir rapat akupun turut memuntahkan segenap kekecewaanku. Dengan nada emosi dan kecewa aku mengatakan : “Aku tidak akan meminta maaf atas keterlambatanku datang karena ini sering terjadi, entah bidang manapun yang mengadakan. Apakah organisasi ini akan hidup hanya dengan rapat ? Hanya membuang waktu dan energi. Mending bubar. Pulang dan tidur” . Pedas dan tajam kata-kata itu. Benar apa yang di ungkapkan oleh Subcommandante Marcos bahwa “kata adalah senjata“. Aku tidak perduli. Suasana menjadi hening yang terdengar hanya suara kipas. Aku tidak mendapatkan apa-apa dalam rapat ini. Mungkin aku belum bisa memahami bahasa tanpa kata atau belum bisa membedakan tanda dan tetanda kata Alkemis. Yang tersisah kecewa dan jengkel.
Paska rapat ketua bidang – KaBid– menawarkan pertemuan. Entah tetanda apa yang membawaku ke alam bawah sadar. Apakah pikiranku kusut dan kacau di tambah masalah pribadi yang selalu menghantam otakku atau apa ? Di selingi juga dengan gelagat seorang teman yang menunjukkan emosinya kepadaku. Apa gerangan yang telah ku perbuat? Di tengah keriuhan dan kecemasan aku pulang dengan Adrik. Sepanjang perjalanan pikiranku melayang entah kemana? Umar Bakri adalah markas pergerakanku. Berjuta etnis kumpul di tempat apek ini, tidak pernah sepi selalu ada kegiatan. Tiap malam minggu di adakan diskusi dengan tema yang lebi bebas dari yang formal. Nama ini sudah melejit hampir seluruh Indonesia.
***

Jalan Pramuka yang berisik. Tiap hari selalu ramai dengan bus Kota. Mereka berpacu saling salib untuk mengejar penumpang demi sesuap nasi. Tak perduli pantat-pantat bus itu mengeluarkan racun hitam. Hanya penumpang yang terpikir. Malam sudah tidak ada lagi bus yang beroperasi. Dalam langkah yang tak ku sadari, burung dalam malam menjerit-jerit lalu mengurung dari pepohonan beringin yang tercancang di pojok kuburan pinggir jalan. Jeritannya menyobek kelambu keheningan tak ada yang bisa ditanggkap cangkang telingaku kecuali keheningan. Kami pulang sekitar pukul sepuluh. Sesekali terdengar suara motor yang hingar bingar.
Waktu terus berlari. Malam mulai meremang. Dingin udara menyapa jiwaku dengan mesra, jiwa yang sudah remuk. Raga yang lemah bisa dipulihkan kapan saja. Dalam seminggupun bisa. Tapi jiwa yang sakit perlu waktu bertahun-tahun untuk sembuh. Aku menyendiri dalam kotak yang terpencil. Mengindari orang. Pintu kamar masih terngangah lebar. Udara bak serdadu menyerbu masuk. Dingin. Aku tenggelan dalam dunia kegalauan. Berhala kecil di atas meja berbunyi. SMS. Isinya Yanti kecewa. Belum selesai aku menikmati dunia melankoni. Dunia kegelisahan dan kesedihan. Yanti pun menghantam otak ku. Entahlah,,, ku rogoh saku celana dan mengeluarkan sebatang rokok teman kesendirian dalam keheningan. Gumpalan asap berhamburan keluar dari mulutku. Sungguh nikmat kretek di malam ini, pikirku. Ku lihat jam baker sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Jam itu ku beli kali pertama kost di Pandean, tepatnya di belakang Rumah Sakit Hidayatullah. Tiga puluh ribu rupiah. Sayangnya jam itu sudah rusak dijatuhkan teman yang entah mencari apa. Yang tersisah hanyalah kerangka mati. Mataku lelah. Aku membaringkan badanku di atas selembar karpet biru dan tipis.

***

Kring… kring… kring… jam baker berdering. Detik-detik jarum jam berputar. Pukul empat tiga puluh lima menit. Sayup-sayup suara azan terdengar. Aku mencoba bangun walau masih menahan rasa kantuk. Wudhu dan sholat.
Ku ambil buku yang bergambar bintang dan bulan, Teologi Kiri, karya Abdul Munir Mulkhan. Aku tidak bisa konsen membaca hanya membolak balik halaman yang masih beraroma shoping itu. Apakah isinya terlalu rumit atau memang pikiranku yang masih kusut? Yang jelas hesitasi telah mendominasi alam pikiranku. Bukupun ku lempar sembarangan.
Berhala abu-abu kecil yang tergeletak di atas meja membuatku gelisah. Berhala yang telah menggantikan Tuhan bagi orang-orang modern, di elus-elus dan dibelai. Kemanapun pergi selalu di bawa. Ke kampus, masjid, kantor bahkan kamar istimewa alias Wc. Sungguh Tuhan baru bagi manusia. Tombol-tombol kecil yang tertata rapi ku pijit tuk merangkai kata-kata. Jadilah pesan. Isinya aku ingin bertemu Yanti untuk klarifikasi tentang smsnya tadi malam. Sms yang telah membuyarkan pikiranku. Pesan itu telah ku kirim. Sembari menunggu balasan, aku hanya terpekur di ruang yang apek laksana penjara. Hp yang telah ku letakkan di atas meja berbunyi. Tit… tit…tit… smsku pun di jawab. Ternyata dia tidak bisa, karena dia ada kuliah. Aku seperti orang hilang. Setelah sholat dzuhur aku beranjak ke kampus, Menyusuri keramaian Kota, memecahkan asap kendaraan yang hitam. Aku berjalan dengan harapan baru, harapan untuk bertemu walau ada segan. Segan, karena aku tak tahu harus berbuat apa. Segan, karena aku lelaki yang miskin, yang penuh noda, selengek-an seperti gembel, dan bau seperti wedus.
***

Hari senen yang menggelisahkan, deru bus kota berpacu di jalan Pramuka. Bus-bus kota itu menggumpalkan asap hitam, saling salib berebut penumpang. Demi sesuap nasi bagi anak bini mereka. Tak perduli peraturan, yang penting mencari nasi. Pukul satu kurang dua puluh menit setelah menunggu dengan harapan yang rapuh, harapan yang sekarat, tepat didepan komisariat aku bertemu Yanti.
“Yanti, kamu ada kuliah sekarang?” tanyaku pada Yanti.
“Ya. Aku mau mengkopy makalah dulu, nanti baru masuk kuliah” jawab Yanti sembil menunjukkan makalah.
“Hmm…” aku hanya diam
Diapun pergi keluar kampus menuju fotokopy. Sementara aku pergi dengan segudang kekecewaan. Tak terlintas sedikitpun dalam naluriku untuk masuk kuliah. Aku tidak perduli masalah akademik akan bobrok. Tapi aku juga tidak mau bunuh diri dalam kelas. Dengan berat aku melangkahkan kaki pulang. Aku hanya menyadari terisolasi dari keramaian. Tak ada yang dapat ku lakukan. Tak terasa dalam kesendirian azan magrib terdengar. Aku bergegas mengambil wudhu. Cari makan ke angkringan. Pemilik angkringan itu lumayan bisa menghibur walau hanya sebentar. Mukanya mirip dengan seorang filsuf atheis. Karl marx. Yang membuatku senang nongkrong di angkringan ini bukan hanya sekedar murah namun pemiliknya yang bisa di ajak bercanda dan ramah. Bahkan juga bisa berbicara bahasa Inggris, walau ala kadarnya.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku melangkahkan kedua kaki menuju surgaku. Malam ini aku harus menyelesaikan tugas mata kuliah scientific writing yang di ampu Pak Adi Sutrisno. Saking capenya akupun terlelap di atas tumpukan manuskrip-manuskrip yang berserak, hingga subuh menjelang.
Pagi yang menggelisahkan. Tugas itu terus memburuku. Dua minggu telah ku gadaikan. Tepat pukul delapan ketika sudah selesai dan diprint out tinggal di jilid dan di kumpul. Tiba-tiba berhala kecil itu berbunyi. Segera ku buka. Sms dari Yanti. Dia tidak kuliah. Katanya dia telah menunggu di komisariat. Aku bergegas mandi. Dengan tegap dan pasti aku beranjak pergi kekampus.
Hari ini hari selasa. Di komisariat ada beberapa kepala manusia, termasuk Yanti yang sudah menunggu entah dari jam berapa. Aku duduk sebentar, lihat beberapa kolom koran baru. Republika merupakan koran langganan di organ ini. Karena tidak mungkin membicarakan masalah ini di ruang yang ramai jadi kami pindah ke ruang sidang.
Pukul sembilan ketika kami masuk ke dalam ruang sidang. Kebetulan pagi ini, ruangan ini tidak di pakai. Kami berbicara panjang lebar. Duduk berhadapan. Dengan batas dua buah korsi. Hening sesaat. Aku bingung memulai dari mana untuk mengawali pembicaraan. Aku menarik nafas panjang dan memulai bicara.
“Apa khabar ?“ tanyaku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Baik“ Jawab Yanti.
“Kita mulai dari mana pembicaraan ini? “ Tanyaku lagi.
“Terserah“ jawabnya singkat
Suasana hening. Ke dua insan yang berlainan jenis ini membisu. Hanya putaran kipas yang terdengar. Aku mencari kata yang tepat untuk mulai.
“Baiklah. Aku ingin menanyakan tentang smsmu pada malam kemarin. Apakah maksud kamu kecewa pada ku? Tanyaku sembari mengeluarkan hp dan membuka smsnya yang sengaja tidak ku hapus”.
“Kenapa kamu harus mempertanyakan itu?” jawab Yanti dengan gelisah.
“Aku tidak butuh pertanyaan, aku butuh jawaban” paparku dengan tegas.
“Iya, tapi,,,, “
“Tapi kenapa?”
“Apakah itu penting?” tanya Yanti
“Aku sudah bilang. Yang kubutuhkan sekarang jawaban, bukan pertanyaan. Aku harap kamu paham apa yang kumaksudkan. Ya atau tidak. Kalau ya aku akan mengambil langkah selanjutnya dan kalau tidak akupun tetap akan mengambil langkah. Itu tergantung dari jawabanmu dulu, baru aku akan menjawab”.
Suasana ruang sidang itu hening kembali. Sebenarnya aku tidak tega mempertanyakan hal ini. Namun karena mengganggu maka mau tidak mau harus di selesaikan. Yanti menjawab “Ya. Aku kecewa sama kamu”.
“Yakin kamu kecewa!” Tanyaku lagi.
“Kenapa malam itu kamu meninggalkan saya tanpa meninggalkan apa-apa, saya sudah menawarkan untuk kumpul sebentar bersama teman-teman yang lain, tapi tidak diperdulikan? aku juga manusia yang perlu di hormati dan di hargai. Siapa yang tidak kecewa bila di perlakukan begitu?” Papar Yanti.
“Terima kasih atas jawabanmu. Aku akan mulai dari diriku sendiri. Aku sadar sesadarnya. Siapalah diri ini? Maaf bila kedatanganku di organisasi ini hanya bisa menjadi lalat penggangu, penyebar virus yang berseberangan dan sangat radikal. Aku akan anggkat kaki, hengkang dari organisasi”.
“Maksudmu keluar dari bidang IPTEK atau keseluruhan secara struktural” Tanya Yanti seakan tidak percaya.
“Aku akan keluar secara keseluruhan, keluar dari organisasi. Mungkin dengan keluarnya dari organisasi. Kawan-kawan bisa bergerak dengan lancar. Tidak akan ada yang menggangu dan menghalangi. Aku yakin kamu pasti senang bersama kawan-kawan yang lain menjalankan semua agendamu tanpa orang gila seperti ku ini”.
“Naif sekali, hanya gara-gara kata kecewa kamu mengundurkan diri!”
“Apa. Naif !!! Berani sekali kamu bilang naif. Asal kamu tahu apa yang kudapatkan tidak seimbang dengan yang kulakuakan. Apa kamu tidak merasa aku sendiri sudah sering di perlakukan begini ketika mengadakan diskusi atau forum lain, tapi aku tidak pernah mengeluarkan rasa kekecewaanku. Apalagi dengan mengacu langsung mengirim sms. Seolah-olah akulah sumber malapetaka itu. Apa aku pernah mengucapkan kecewa ke padamu secara langsung? Tidak khan. Kok kamu bilang naif sekali. Aduh, aku gak habis pikir padahal di bidang IPTEK masih banyak teman-teman yang lain. Tapi kenapa kamu harus menunjukkan kata kecewa itu padaku, hanya aku lagi yang di sms. Lantas kemana Adrik, Wiwik dan Fika?”
Ketika aku menjelaskan ini, emosiku mulai naik. Kehilangan kontrol. Ruang sidang berubah menjadi mendung. Yanti menangis. Butiran mutiara-mutiara kecil berjatuhan dari kedua matanya yang hitam. Rasa penyesalan dan bersalah telah membuatnya sedih. Penyesalan tinggal penyesalan tidak akan bisa berubah. Aku sendiri tidak tega ketika melihat seorang wanita menangis apalagi hanya gara-gara aku. Tanpa ku sadari akupun menangis. Dua insan itu dilanda air mata dalam sekap dinding ruang sidang. Aku sendiri tidak habis fikir. Kenapa aku bisa menangis hanya gara-gara masalah sekecil dan sesepele ini. Sangat jarang seorang lelaki bisa mengangis, apalagi hanya masalah organisasi. Aku tidak munafik. Di ruang sidang itu aku benar-benar menangis. Aku menangis bukan karena dia. Aku menangis karena teringat nasehat ibuku. Dia telah menyematkan cemeti yang amat sakral. “Dimanapun kamu berada jangan pernah menyakiti orang lain”. Nasehat inilah mencambukku ketika aku berbuat kesalahan. Nasehat ini juga yang mengontrolku dari negeri sejuta warna ini.
Dengan tersedu-sedu, Yanti mulai bicara “aku minta maaf, apa yang bisa ku lakukan agar kamu bisa tenang?” pinta Yanti sembari memohon…
“Sudahlah yang lalu akan berlalu bersama angin kekecewan, keputusanku sudah bulat”. Jawabku dengan emosi. “Aku sudah apriori”.
Pertemuan di ruang sidang itu merupakan buah karya selama setengah perjalanan di organisasi. Tak di nyana berakhir tanpa solusi yang memuaskan dari kedua belah pihak… pertemuan ini berakhir hingga pukul satu siang. Aku pergi dengan membawa sekantong plastik hitam kekecewaan.
Hari-hari ku lalui tanpa makna. Tiap jam, menit bahkan detik. Kehampaan. Hanya alam yang dengan setia menemaniku dalam dunia dimensi tanpa batas. Kuliahku mati suri. Di organisasi hanya sekedar menampakkan batang hidung. Tidak lebih. Rasa penyesalan dan bersalah terus menghantui. Menyesal karena aku telah mengeluarkan kata-kata yang tak semestinya ku keluarkan. Bersalah karena tidak mampu meredam ego. Sangat berseberangan dengan yang ku pelajari. Filsafat, ajaran-ajaran Budha dan Tasawuf.
Ketika kejadian ini aku sebagai salah satu Steering Committee pada acara Workshop Pendidikan. Padahal posisiku sangat penting dalam agenda ini, sebab salah satu materi yang paling vital ada di tanganku. Makalah yang telah ku ketik sebanyak dua puluhan itu ku titipkan lewat teman. Adrik. Dia juga salah satu Steering Committee pada Workshop Pendidikan.
Aku hanya terpekur di kamar. Banyak hal yang melintasi pikiranku. Peristiwa itu berlangsung dengan cepat seperti serpihan-serpihan yang tak gampang disambungkan. Ia menghambur pergi. Tiba-tiba ada bisikan yang sangat kuat menyapa. “kamu hanya tersandung batu kerikil. Hadapilah kenyataan. Kamu berada di dunia nyata, bukan di alam ide. Di balik kesulitan ada kemudahan. Bangkit dan tegaplah menghadapi aral kehidupan. Kalau tidak kamu akan terisolasi dari pluralisme sosial”. Sungguh ilham yang telah membangkitkan elan vitalku. Sembari tersenyum hati kecilku berucap “Inilah hidup, penuh keunikan dan keanehan. Misterius”.
Dunia terlihat seperti gugusan bayang-bayang, tercipta laksana segumpal cahaya yang terang benderang, mengintari hati dan melukis warna warni impian. Aku harus belajar hidup didunia tapi tak meletakkan hati di dunia. Kanuqauman min ahlid dunya wa laisu min ahliha.* Hidup tak bisa diraba dengan sekali baca. Bahkan berkali-kali baca pun belum ada jaminan terpahami. Ia seperti kuda yang berlari kesesatan. Atau bisa jadi mahluk kejam serupa shagol gurun. Membantai, mengerat siapa pun yang berani masuk mengintainya di Padang halaman yang datar tanpa tepi. Ganjil genap.
HATI-HATI!

Hidupmu selalu di barengi susah, tak ada sesuatu kebahagiaanpun kecuali kau raih dengan kesusahan. Kenikmatan duniamu ialah beracun tak ada kenikmatanpun kecuali beracun. Apabila sesuatu telah sempurna maka akan tampak kekurangannya. Sesuatu akan hilang apabila telah sempurna.

***
Oemar Bakrie dalam kebisuan malam
Yogyakarta yang kelabu, Juni 2005

Saturday, January 17, 2009

VOICE OF POSMODERNISM AS REFLECTED IN SPEECH TEXS IN UMBERTO ECO’S TRAVELS IN HYPER REALITY

VOICE OF POSMODERNISM AS REFLECTED
IN SPEECH TEXS IN UMBERTO ECO’S
TRAVELS IN HYPER REALITY


A. Background of study
In this part, writer tells about background or reason of the title. Writer tries to give an explanation about picture of hyper reality and critiques through on reality the first countries which try to present pure simulacrum although its just imitation. 

B. Identification of problem
Related to naration before, there are many problems that can be raised in relation to analysis of Umberto Eco’s Travels in Hyper Reality. The writer finds that the book Travesl in Hyper Reality contains postmodernism issues. Based on the background study, there are some poblems that identified as follow:
1. How binary opposition made hegemony in the Travesl in Hyper Reality.
2. Diction used by Umberto Eco in the Travesl in Hyper Reality.
3. Code mixing used in in the Travesl in Hyper Reality.
4. Proverbs used in the the Travesl in Hyper Reality.
5. How logo-centrist superiority in the Travesl in Hyper Reality.
6. How the writer influenced reader.
7. How the structure analysis was imfact in the Travesl in Hyper Reality.

C. Limitation of the problem
 To make this research more directed and oriented, the writer needs to make a scope of the research so that the description about the subject that will be discussed will not be too wide. Without making scope on the subject, the discussion will not run well and the result will not be good.
 Related to the background for choosing the subject above, the writer will focus this research on the style in rhetorical form used in the text. The researcher uses the constuction thoery to analyze, expecially Derrida’s theory. The step analyzing the book is begun by finding the binary opposition that hegemony in the book and finding the traces. Those problems will be analyzed on the postmodernism theory.

D. Formulation of problem
 Based on the assumption from limitation of the problem, the reseacher formulates problems as follow:
1. What styles in texs form are used by Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality?
2. What dominant style in texs form is used in the Travels in Hyper Reality? 
3. What is the description of posmodernism in the Travels in Hyper Reality?
4. how to deconstruct the binary opposition in the Travels in Hyper Reality?

E. Objectives of the study
  The objective of the study in this research is to answer the formulation of the problems:
1. To find styles in texs form used by Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.
2. To know the dominant style used Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality. 
3. To describe the posmodernism themes Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.
4. To deconstruct the binary opposition in Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.

F. Significance of the study
The significan of the research can be describe as follows:
1. To provide the information for reader who want to analyze a literary work especially posmodernism book.
2. To give contribution to the readers in critics on postmodernism theory.
3. To implement the postmodernism in analyzing the book.























Writen by : Sulhaidi
Jur/ Fak : PBI-S1/ FKIP
NIM : 02.004.125
Subject : Research on ELT

E_Mail: sulhaidign@plasa.com