Thursday, August 7, 2008

HERMENEUTIKA Jalan alternatif ber-Romantisme dengan teks

HERMENEUTIKA
Jalan alternatif ber-Romantisme dengan teks
Oleh: Sulhaidi *

Prolog

Berbicara mengenai simbol dan pemahaman terhadap simbol pada dasarnya membicarakan mengenai pemaknaan dan cara mengungkap makna. Simbol-simbol itu dapat dikatakan pada mulanya berawal dari pemaknaan manusia terhadap sesuatu, sehingga pembacaan terhadap satu simbol pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menyingkap dan menangkap makna yang ‘ditempelkan’ terhadap sesuatu yang berposisi sebagai simbol tersebut. Dari sinilah lahir berbagai macam teori dan metode pemahaman yang merupakan titik tolak perkembangan peradaban ilmiah manusia.
Penafsiran merupakan suatu “simpul kontroversi” yang cukup alot diurai. Ada titik paradoksal, dimana sepintas kilas terasa sangat penting adanya “ruh teks”, utama teks suci agama, dalam sebuah tafsir sebagai suatu esensi yang sui generis, transenden, niscaya sekaligus pelegitimasi bagi keabsahannya. Pada kilasan yang lain, “ruh teks” tidak akan menyumbangkan makna apapun bagi manusia yang imanental jikalau tidak disublimasikan dengan dinamitas, progreifitas dan aktualitas manusia.
Kita bisa menganalisa bahwa tafsir apapun akan selalu berkubang pada dua kecenderungan:
1. Tafsir yang mempertahankan mati-matian pentingnya dominasi “ruh teks”, sekalipun untuk itu bahkan dilakukan intervensi, apatisasi, statisasi dan status quo.
2. Tafsir yang lebih menonjolkan perkawinan entitas riil manusia dengan “ruh teks”, sekalipun didalamnya niscaya terjadi distorsi, apatisasi dan revolusi terhadap “ruh transenden” itu.
Disinilah hermeneutika tampil sebagai salah satu pisau bedah atau metodelogi penafsiran yang perlu kita perhitungkan. Sekalipun dalam perjalanannya, hermeneutika juga mengalami berbagai evolusi paradigmatik yang sangat pelik, namun secara genral hermeneutika memainkan lakon signifikan bagi perjalanan pemahaman teks manusia.


Defenisi Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneua yang berari “penafsiran” atau interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Kata ini sering diasosiasikan dengan Hermes, seorang dewa dalam mitodologi Yunani yang bertugas mentampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Oleh karena itu Hermes haru mampu menginterpretasikan atau menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya.
Ada dua yang membedakan antara kata hermeneutic (tanpa ‘s’) dan hermeneutics (dengan hurup ‘s’). Term yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ketafsiran, yakni menunjuk kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam suatu penafsiran. Sementara term kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun).
Kata ini mengandung tiga arti:
1. Ilmu penafsiran.
2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis.
3. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci.
Pengasosiasian hermeneuitk dengan hermes sendiri secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
a. Tanda (sign), pesan (message), teks
b. Perantara atau penafsir
c. Penyampaian kepada audiens.
Hermeneutika sendiri tidak bisa lepas dari bahasa. Setiap kegiatan manusia – berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan – selalu berkaitan dengan bahasa. Kata-kata yang merupakan satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas.
Peribahasa selalu mengandaikan adanya, dua dimensi : internal dan eksternal.
1. Dimensi internal ialah situasi psikkologis dan kehendak bepikir (intensi)
2. Dimensi external ialah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir batin, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada “orang lain“.
Hermeneutika secara singkat bisa diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Defenisi ini merupaka defenisi umum yang di sepakati terhadap hermeneutik, namun secara lebih jelas jika melihat terinologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal ;
1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Batasan-batasan hermeneutika ada enam:
1. Hermeneutika sebagai filologi
2. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik
3. Hermeneutikasebagai dasar metodelogi ilmu-ilmu sejarah
4. Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial
5. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran

Kesimpulan
Di Indonesia, apalagi di kalangan kita IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), kajian-kajian yang membahas secara kritis dan analitis mengenai metodelogi tafsir bisa dikatakan jarang. Penulis katakan jarang karena minim dan bahkan belum terlihat adannya analis tentang penafsiran yang cukup berani dan radikal (bukan tidak). Kala kita (IMM) berusaha bergumul dengan ranah ilmu-Ilmu yang sekuler cenderung dihantui terlebih dahulu oleh mitos-mitos nenek moyang. Sikap inilah yeng membuat ilmu pengetahuan kita tidak bisa di terima di luar apalagi tafsir. Kajian-kajian mengenai teks biasanya terfokus pada isi kandungan teks atau kalaupun mengkaji mengenai metode, lebih kepada ilmu teks klasik dan mengulang-ulang kaidah-kaidah penafsiran lama yang dianggap sudah established. Penulis katakan bahwa kita jangan terlalu mudah untuk memberikan sebuah justifikasi terhadap wacana-wacana sekuler (atheis) melainkan digunakan sebagai instumen refleksi dan apropriasi. Artinya kita (orang timur) dan lebih spesifik IMM melakukan refleksi terhadap religiusitas kita sendiri berdasarkan kritik-kritik tersebut. Setelah distansi, kritik-kritik tersebut kita maknai secara baru sebagai obat pemurnian keimanan kita dengan membersihkan dari apa-apa yang dituduhkan kaum atheis. Dengan menilik pemikiran mereka (atheis) kita mungkin akan menemukan bahwa religiusitas kita memuat kecenderungan atroposentrisme yang kurang manusiawi. Kiranya coretan-coretan usang ini diharapkan at least sebagai suatu pancingan bagi satu ekplorasi dan pengkajian lebih jauh terhadap teks agar tetap dinamis dengan zaman.

“Makna tidak sama dengan maksud pengarang”

No comments: