Thursday, August 7, 2008

INTRINSIK METODELOGISASI DALAM EPISTEMOLOGI

INTRINSIK METODELOGISASI DALAM EPISTEMOLOGI
Oleh: Sulhaidi

Selamat memasuki dunia kebingungan!

1. Pendahuluan

Epistemologi berasal dari Yunani “episteme” dan “logos”. Epistemology artinya pengetahuan (knowlwdge), sedangkan logos arinya teori (ilmu). Dengan demikian epistemology secara etimologis berarti teori pengetahuan.
Sebagai kajian filosofis, epistemology belum mencapai tingkat yang memadai di negeri ini. Memang sudah ada beberapa buku yang di tulis oleh sarjana Indonesia tentang epistemology, tapi umumnya masih berupa pengantar. Hal ini menunjukkan langkanya kajian seperti ini sehingga pad agilirannya menunjukkan kurang intensifnya kajian epistemology ini dilakukan.
Persoalan-persoalan penting yang di kaji dalam epistemologi berkisar pada masalah:
1. Asal-usul pengetahuan,
2. Bagaimana memperoleh pengetahuan,
3. Metode dan sarana serta metode apa yang dapat dipercaya untuk mendapatkan pengetahuan,
4. Peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan,
5. Hubungan antara pengetahun dengan keniscayaan dll.
Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan atau mungkin sampai pada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Banyak varian terkait masalah epistemologi. Penyelesaiannya tergantung pada apa yang diajarkan oleh seorang ahli psikologi kepada kita. Bertrand Russel mengatakan: “Seseorang tidak mesti menjadi seorang filsuf yang lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak; azas-azas serta metode-metode dan pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia tertarik pada filsafat”. Seseorang akan menyedihkan belaka, jika tidak mengetahui azas-azas, metode-metode serta pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu pada masa hidupnya.
Ditinjau dari sudut pandang yang lain, hasil hasil ilmu modern juga penting bagi seorang filsuf. Telah kita ketahui bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu pandangan dunia yang sistematis. Ini berarti meliputi azas-azas yang demikian rupa keadaannya sehingga tidak bertentangan dengan ilmu penemuan-penemuan serta hasil-hasil ilmu yang telah dikenal. Kesesuaian dengan lain-lain lapangan penyelidikan manusia selalu merupakan ukuran yang untuk menguji hasil-hasil yang dicapai. Suatu keadaan yang tidak runtut, tidak begitu saja dikesampingkan sebagai “pekerjaan setan”. Ketika Hegel dalam tulisan-tulisan awalnya mencoba membuktikan bahwa alam semesta ini tersusun hanya dari tujuh planet, maka kebenarannya itu sama sekali terbantah dengan ditemukannya planet ke delapan.
Jika dikatakan masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan, apakah yang kita maksudkan dengan pengetahuan? Pada umumnya, pembahasan tentang epistemologi dimulai dengan penjelasan tentang defenisi “sains” yang biasanya dibedakan dari pengetahuan. Tidak pernah jelas, misalnya, apakah sains itu sama atau berbeda dengan ilmu? Istilah ilmu terkadang dipandang sama dengan sains, tetapi kadang justru disamakan dengan pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan juga terkadang dipakai untuk merujuk sains yang debedakan dengan pengetahuan.
Sains dipandang sebagai any organized knowledge , ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” . Dengan demikian ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains hanya sementara sains di batasi pada bidang-bidang nonfisik -- metafisika.
Dalam kamus Webster’s New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, Scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa berarti “keadaan atau fakta mengetahui” dan sering diambil dalam arti pengetahuan yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan demikian telah terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi”pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi”.
Sementara ilmu didefinisikan sebagai pengetahun tentang sesuatu sebagaimana adanya. Pengertian ilmu sebagimana adanya mengisyaratkan bahwa ilmu tidak begitu saja sama dengan pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa saja tidak sebagimana adanya, tetapi lebih kepengetahuan umum yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari inderawi. Oleh karena itu pengetahuan sebagaimana adanya mengisyaratkan bahwa pengetahua tersebut haruslah pengetahuan yang telah di uji kebenarannya berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan tidak hanya berdasarkan praduga atau asumsi. Dengan demikian ilmu memiliki kriteria yang dimiliki oleh sains sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi.
Namun, ilmu, memiliki pengetahuan atau lingkup yang bebeda dengan sains karena sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris – positivis, ilmu melampauinya dengan memasukkan tidak hanya bidang-bidang empiris, tetapi juga nonempiris, seperti, matematika.

Kiranya sudah jelas bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang sejati, maka kita dapat mengajukan pertanyaan- petanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?

2. Metodelogi Pengetahuan

Metodelogi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi cirri-ciri ilmiah. Metodelogi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika, yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Manakala kita membicarakan metodelogi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.

Pertanyaan bagaimana kita mengetahui objek-objek ilmu sebagaimana adanya tentu sangat penting bagi setiap epistemologi karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur apa yang diambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagaimana adanya. Namun, seperti yang mungkin telah dapat dirasakan ketikan mengetahui sebuah objek sebagaimana adanya itu ternyata tidak semudah yang pernah dibayangkan. Untuk mengetahui warna langit saja, misalnya, ternyata tidak mudah karena kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu langit. Namun, kita juga tahu ternyata langit itu sendiri tidak mudah didefinisikan karena langit sebagaimana adanya ternyata berbeda sekali dengan langit yang kita persepsikan lewat indera kita. Demikian juga kalau kita masih memakai contoh terdahulu, untuk mengetahui ukuran bintang atau bahkan keberadaannya saja, juga ternyata sangat sulit untuk dicapai hanya dengan menggunakan mata. Oleh karena itu diperlukan cara-cara tertentu untuk bisa mengetahui objek-objek tersebut sebagaimana adanya, atau paling tidak mendekati kebenarannya. Nah, cara-cara untuk mengetahui sebuah objek ilmu pengetahuan itulah yang kita sebut metode ilmiah.

1. Empirisme
Dalam teori pengetahuan, poin pertama yang kita ketahui adalah pembedaan tajam antara dua jenis pengetahuan yang secara berurutan disebut a priori dan empiris. Sebagian besar pengetahuan kita diperoleh dari pengamatan terhadap dunia luar – persepsi inderawi – dan terhadap diri kita sendiri. Ini disebut pengetahuan empiris. Namun demikian sebagian pengetahun dapat diperoleh dari sekedar befikir. Pengetahuan semacam itu disebut a priori. Comtoh utamanya dapat ditemukan dalam logika dan matematika. Untuk dapat mengetahui 5 + 7 = 12, kita tidak perlu mengambil lima buah benda kemudian tujuh benda lagi, menggabungkannya, lalu menghitung jumlah totalnya. Kita dapat mengetahui jumlah keseluruhannya hanya dengan berfikir.
Seorang empirisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti “bagaimana orang mengetahui es membeku?” jawaban kita tentu akan berbunyi, “karena saya melihat sebagaimana adanya” atau “karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian”. Sama halnya dengan pertanyaan “bagaimana orang mengetahui Munif telah dibunuh?” maka jawaban kita akan berbunyi, “karena seseorang ada di tempat itu dan melihat kejadian tersebut, telah menerangkannya demikian”. Secara demikian dapat dibedakan dua macam unsur; yang mengetahui (S), yang menetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan. Dan yang kedua yang diketahui (O).
Unsur ketiga yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui bahwa es membeku?” ialah keadaan kita bersangkutan dengan “melihat” atau ” mendengar” atau suatu pengalaman indrawi yang lain. Bagaimana kita mengetahui api itu panas? dengan menyentuh barang sesuatu dan memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Bagaimana kita mengetahui apakah panas itu? Dengan menggunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan perkataan lain, pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan? Dijawab dengan menggunakan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.
Jhon Lock, bapak empirisme Britania menyatakan: “Pengetahuan diperoleh dengan perantara indera kita”. Ini berarti bahwa ketika manusia dilahirkan akalanya merupakan sejenis buku catatan yang kosong – tabula rasa, dan didalam buku catatn itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurutnya seluruh sisah pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi.
Ia memandanga akal sebagai sejenis penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
Lock sangat berpengaruh dengan gagasan-gagasannya. Tujuannya mirip dengan Descartes yaitu mempertanggungjawabkan penggunaan akal dan memberi dasar kokoh bagi pengetahuan. Tujuannya seperti Descartes adalah untuk menelusuri dasar-dasar pikiran. Tetapi ia menolak anggapan yang mengatakan keunggulan dari “yang dipahami” daripada “yang diraba”, sebaliknya ia menekankan bahwa semua intelligebilitas ditarik dari indera.
Secara menarik dia membandingkan akal budi manusia pada saat lahir dengan tabula rasa, yang belum tertulisi apapun. Dengan ini dia tidak hanya mau menyingkirkan segala gagasan mengenai “ide bawaan” tetapi juga untuk mempersiapkan penjelasan bagaimana arti disusun oleh kerja keras data sensoris (inderawi). Kita tidak tahu apapun yang tidak ditarik dari indera. Tulisan satu-satunya yang asli diatas papan budi kita adalah yang ditulis oleh indera.
Pengalaman tidak hanya merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat inderawi, yang secara demikian menimbulkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan tadio diterima dan dipahamai sebagaimana adanya atau berdasarkan atas rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-taggapan mengenai-objek-objek yang telah merangsang alat inderawi tadi.
Tetapi apakah yang terjadi bila kita mempunyai sesuatu “pengalaman”? pertanyaan ini menjadi bermakna ganda jika kemudian kita menanyakannya. Kadang-kadang kiranya ini berarti bahwa indera bisa memperoleh rangsangan dan kita menyatakan mempunyai suatu pengalaman karena kita telah melihat atau mendengar dan sebagainya. Pada waktu yang lain tampaknya pengalaman bermakna hasil penginderaan ditambah tanggapan.

2. Rasionalisme
Perbedaan penting antara pengetahuan rasionalis dan empiris ialah pada yang pertama, kita tidak semata-mata mengetahui bahwa sesuatu ‘S’ sesungguhnya ‘P’, tetapi juga bahwa S pasti P dan mengapa S adalah P. Kita bisa mengetahui bahwa sekuntum bunga berwarna kuning (atau setidaknya menghasilkan sensasi warna kuning) dengan melihatnya, tetapi dengan cara demikian kita tidak dapat mengetahui mengapa bunga itu berwarna kuning atau mengetahui bahwa bunga itu pastilah kuning warnanya. Satu-satunya yang kita ketahui hanyalah bahwa bunga itu juga punya kemungkinan sama besar berwarna merah.
Tidaklah mudah membuat defenisi tentang rasionalisme sebagai sesuatu metode memperoleh pengetahuan. Rasionalisme berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran (pengetahuan) mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Tidak diragukan lagi bahwa sepintas betapa indera kita telah cukup memberi kita pengetahuan tentang benda-benda inderawi, ternyata tak memadai untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena itu kita membutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang segala sesuatu. Dengan kata lain, akal lebih patut disebut sebagai sebagai sumber ilmu daripada indera. Misalnya dengan indera kita dapat melihat bulan separuh saja pada satu saat. Mata tidak bisa membuktikan adanya bulan paruh lain dari bulan yang tidak terlihat. Dalam hal ini akal yang dapat menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola atau sferik. Dengan akal juga kita dapat menyatakan bahwa pensil dalam gelas yang berisi penuh air itu lurus sekalipun tampak pada pandangan kita bengkok karena bias.
Descartes berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang daripanya menggunakan metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal sebagai hal-hal yang tak dapat diragukan.
Seorang penganut rasionalisme tetu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpilan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita mengingkan agar kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premis-premis haruslah benar secara mutlak. Bagi Descartes kebenaran-kebenaran a priori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.
Daptlah dikatakan, bagi penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan akal pikiran ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang. Selain itu, dalam hal ini tidak ada penyimpulan yang begitu saja terjadi mengenai kedudukan ontologis dari sesuatu yang diketahui. Seperti halnya pengalaman, orang menyatakan bahwa apa yang dialami tentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehinggga dapat merangsang alat inderawi. Maka begitu pula halnya dengan akal, terdapat ketentuan bahwa apa yang diketahui pasti dalam hal tertentu, mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh akal.
Penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman berikutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan kita.
Secara demikian, jika kita menyatakan bahwa kita melihat sebuah pohon, maka kita tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena kita membuat pernyatan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang kita punyai. Mata kita mungkin menipu kita atau ingatan kita hanya dapat menyatakan bahwa kita melihat pohon, dan sebagai akibatnya kita tidak dapat menyatakan bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang pohon.
Tetapi jika kita menyatakan bahwa 2 + 2 = 4, atau bahwa bagi setiap kejadian tentu ada alasannya mengapa hal itu terjadi maka saya mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran. Ini sama sekali bukan masalah pendapat, karena tidak mungkin untuk mengingkarinya atau bahkan untuk memahami sesuatu seperti bahwa 2 + 2 = 5 atau ada kejadian-kejadian yang tidak beralasan untuk terjadi. Kita tidak dapatmembayangkan dalam pikiran tentang dunia yang kacau-balau. Maka bagi seorang penganut rasioanalisme, ukuran kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untu dipahamkan yang sebaliknya.
Pertanyaan penting sekarang adalah bagaimana sebenarnya akal dapat menyempurnakan pencerapan indera kita dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan kesan yang diterimanya? Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yaitu akal. Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh indera-indera kita, yaitu untuk bertanya secara altruis dan kritis serta radikal. Dengan demikian kita tidak bisa meragukan pentingnya akal sebagai sumber pengetahuan kita, yang tanpanya manusia akan berada dala kegelapan. Bagaimana hal itu (kemampuan akal untuk bertanya) dapat dijelaskan? Hal ini tidak lain karena akal memiliki perangkat-perangkat atau konstruksi-konstruksi mental atau apa yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategoti-kategori.
Apa yang dajarkan Kant dengan memperhatikan pertanyaan “kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus”. Bagaimana kita sampai dapat mengetahui keadaan yang memiliki hubungan sebab akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, setelah diselidiki oleh para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut dan bila kuman tersebut tidak terdapat dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita demam tipus.
Perhatikanlah, seorang ilmuan akan mengatakan bahwa kedua syarat itu harus dipenuhi sebelum kita dapat mengatakan kuman tersebut menyebabkan demam, karena seorang “pembawa kuma tipus” tentu mengandung kuman tersebut namun mungkin tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman dan juga orang yang sehat atau yang sakit itu.
Tapi pengamatan betapapun banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut. Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya. Tetapi Kant berpendapat bahwa sebab akibat merupakan hubungan yang bersipat niscaya.
Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian menyepaknya, maka kita tidak akan mengatakan bahwa kucing menyebabkan kita menyepak, meskipun yang demikina itu terjadi seribu kali. Kedua peristiwa itu tidak tampak berhubungan satu sama lain. Maka mengapakah bila kita melihat kuman dan kemudian melihat orang yang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit!
Indra hanya dapat memberikan data indera, dan data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak di peroleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.

3. Intuisionisme
Asumsi yang mesti ada, meski tidak selalu diakui, cepat atau lambat kita pasti sampai pada titik dimana kita langsung melihat bahwa ada suatu hubungan, tapi kita tidak bisa membuktikannya. Ketika kita langsung mengetahu kebenaran sesuatu dengan cara selain pengamatan empiris kita sebut memiliki intuisi.
Mungkin kita merasa tridak puas terhadap penyelesaian yang diajukan Kant sebelumnya, karena penyelesaian tersebut mengatakan bahwa pada babak terakhir kita hanya mengetahui modifikasi barangsesuatu dan bukannya barang sesuatu itu sendiri dalam keadaannya yang senyatanya. Jelaslah bahwa jawaban-jawaban terhadapnya untuk sebagian ditentukan oleh uraian yang telah diberikan tentang asal-usul pengetahuan. Batas-batas pengetahuan ditentukan oleh jenis-jenis alat yang kita gunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dimisalkan, kita minta agar seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan “penyerbuan dari planet Mars”. Kita anggap ia termasuk salah seorang yang terlibat sebagai pendengarnya. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah dikerjakannya ketika mendengar siaran tersebut; bagimana perasaannya ketika penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian aneh, apa yang dikatakan, pikirkan dan sebagainya.
Karena kita tidak berada di tempat itu, kita mungkin sangat tertarik pada keterangannya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah ia mengakhiri keterangannya, kita mungkin akan membuat suatu catatan tentang kejadian tersebut. Sebagai akibatnya, ia mungkin mengatakan atau merasa, “Ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi atau bagaimana perasaan kita”. Uraian yang ia berikan mungkin sangat lengkap, mungkin juga kita tidak dapat mengetahui apa yang terjadi, meskipun kita dapat menceritakan kembali mengenai kejadian tersebut.
Perbedaan tersebut kiranya terletak pada dua ungkapan, yaitu “pengetahuan mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of). “pengetahuan mengenai” dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. Pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan sibol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Ini tergantung pada pemikiran dari sudut pandangan atau substratum dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandang serta substratum tersebut. Pelukisan sebuah kejadian tersebut ditinjau dari sudut pandang tertentu berhubungan dengan suatu penglihatan tertentu dan atas dasar itulah kita dapat merasakan diri kita berada di dalamnya dan mengalaminya sebagai suatu keseluruhan dan sesuatu yang mutlak. “Pengetahuan tentang” disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung. Menurut Bergson, intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping penglaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.

4. Metode Ilmiah
Seiring perkembangan dan perubahan zaman maka ilmu pengetahuan yang dimulai dari universal hingga ke specific merupakan kemajuan yang telah dilakuakan manusia. Proses perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak lepas dari motede-motode yang digunakan baik filsuf maupun ilmuan dalam mengembangkan pengetahuan mereka. Dari sekian uraian yang telak kita diskusiakan sebelumnya tentu kita bisa menganalisa dimana letak kesulitan para filsuf. Ketika kita melihat ilmuan yang concern dalam laboratorium, mungkin ia akan mengeluh, “di dalam ilmu kita membicarakan kenyataan empiris, di dalam filsafat nampaknya tak ada sesuatu cara untuk memperoleh jawaban”, ini jelas menimbulkan masalah tentang metode ilmiah sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan untuk membantu para ilmuan dalam menemukan sebuah jawaban yang dihadapi para ilmuan. Sebagai missal, ahli astronomi, Kepler, telah mencatat pengamatan-pengamatan yang banyak jumlahnya tentang posisi planet Mars. Catatan-catatan ini memberitahukannya tentang posisi Mars di ruang angkasa pada pelbagai waktu selama bertahun-tahun, dalam hubungannya dengan matahari pada satu waktu tertentu. Masalah yang dihadapai Keplr ialah: Macam jalan edar mengintari matahari yang manakah yang harus ditempuh oleh Mars agar berada pada titik-titik yang telah diamati diangkasa pada waktu-waktu yang setepatnya?
Di sini bisa dilihat bahwa unsure pertama dalam metode ini ialah sejumlah pengamatan, artinya pengalaman-pengalaman yang dipakai sebagai dasar untuk merumuskan suatu masalah. Masalah Kepler timbul karena penyelidikan yang dilakukan oleh orang lain sebelum kita. Tapi hendaknya dicatat, yang dikerjakan Kepler ialah suatu pelukisan yang akan menghubungkan pelbagai posisi planet Mars. Ini merupakan bagian hakiki dari penjelasan ilmiah; pelukisan tadi mencoba merumuskan pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa, sehingga masalah tersebut akan dihubungkan secara sistematis satu sama lain dengan fakta-fakta yang teramati sebelumnya.
Ketika suatu masalah dan sudah diajukan suatu penyelesaian yang dumungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan “hipotesa”. Jadi hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan verifikasi.














Kesimpulan

Persoalan ambivalensi manusia menimbulkan persoalan epistemology yang akhirnya di hadapi oleh manusia itu sendiri. Manusia sekaligus ada dan tidak ada bagi pengalamannya sendiri. Insinkronisasi antara eksistensi manusia dengan dirinya sendiri, yang merupakan bukti diri keterbatasan dan temporalitasnya, juga tampak dalam ketidak-klopan antara pengetahuan dengan dirinya sendiri: sebagaimana manusia tidaklah sama dengan dirinya sendiri, demikian juga ia tidak tahu apa yang diketahuinya. Ketidak-klopan kognisional ini merupakan celah yang memisahkan pikiran dan pengalaman dan sebagai suatu pengasingan pikiran dari dirinya sendiri.
Pengetahuan dikaitkan dengan ekspresi: “mengetahui” bukan hanya mengalami tetapi mengekspresikan pengalamannya sendiri bagi dirinya sendiri. Pertimbangan merupakan bentuk pokok ekspresi, tetapi perhatian utama epistemologi berhubungan dengan dasar pertimbangan; kodrat, jangkauan, dan asal dari evidensi.
Uraian diatas merupakan kilas balik perkembangan ilmu pengetahuan yang haus akan interpretasi secara kotinuitas. Terutama yang berkaiatan dengan metode-metode ilmu pengetahuan. Prinsip metodologis bukan dimaksudkan sebagai langah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode. Dimana hal ini sangat berkaitan erat dengan epistemologis, karena asumsi yang diajukan memasuki wilayah a priori. Di sini juga bisa kita lihat bagaimana para filsuf mempertahankan metode masing –masing bahwa merekalah yang benar. Sepanjang sejarahnya, filsafat telah terkoyak-koyak oleh konflik antara kaum rasionalis dan empiris. Satu pihak menekankan peranan logika dan yang lainnya menekankan pengalaman. Namun yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita bisa mempelajari dan memahami tetang metode yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan, gambaran tetang negasi atas negasi di atas murupakan sebuah permasalahan yang harus kita sikapi bukan kita perpanjang. Namun yang jelas bagi kita adalah bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh dengan pengalaman terlepas dari logika atau dengan logika terlepas dari pengalaman. Tanpa penggunaan logika, manusia tidak memiliki metode untuk menarik kesimpulan dari data perseptualnya; ia harus membatasi jarak jangkau momen observasi, selain fantasi perceptual yang terjadi padanya dikualifikasikan sebagai kemungkinan masa depan yang dapat menginvalidasi proposisi “empiris”-nya. Dan tanpa mengacu pada fakta pengalaman, manusia tidak memiliki dasar untuk proposisi “logis”-nya yang menjadi produk arbitrer dari temuannya sendiri.
Ke …..
Seseorang akan menyedihkan belaka, jika tidak mengetahui azas-azas, metode-metode serta pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu pada masa hidupnya. Lock

Daftar Pustaka

Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat, Widya, Jakarta, 1970.
Ewing, A. C, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Hadi, Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
Mustansyir, Rizal, dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat, Putaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Rand, Ayn, Pengantar Epistemologi Objektif, Bentang, Yogykarta, 2003.
Santoso, Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003.

No comments: