Thursday, August 7, 2008

SINERGI INTELTUALISME Dan AKTIVISME

GERAKAN MAHASISWA:
SINERGI INTELTUALISME Dan AKTIVISME
Oleh: Sulhaidi 

Selamat datang kau yang selalu gelisah, inilah dunia.
Dunia yang di lipat sekaligus abstrak dengan kegilaan-kegilaan yang tersedia. (Boy )

Salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali
Saat ibu pertiwi tidak dapat melindungi anaknya lagi
Saat cendikiawan, ulama, sastrawan, seniman, politikus
Hanya pintar bicara tanpa ada gerakan ke bawah secara realita
Untuk menolong saudara kecil
Cendikiawan hanya bisa membohongi saudara bodoh
Ulama hanya bisa berbicara saja tanpa ada hal bukti secara realitanya
Seniman atau sastrawan hanya bisa menulis puisi picisan tentang cinta,
Keindahan dunia ataupun kemalangan saudaranya sendiri
Politikus ya politikus
Saudara yang selalu berebut korsi karena ketakutan kehabisan korsi
Akhirnya…
Sekali lagi salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali

Para Filosof hanya mampu menginterpretasikan dunia dengan berbagai macam teori yang berbeda, berbagi macam argumen di gunakan untuk membongkar balikkan fakta dengan analisis negasi atas negasi hingga melahirkan seorang filosof yang bernama Karl Marx megejek semua kegilaan itu dengan melahirkan kegilaan baru lagi dengan sebuah doktrin bagaimana mengubah dunia bukan hanya ‘beronani’ dengan dunia wacana yang abstrak.


Mahasiswa adalah elit minority yang terdidik dari mayoritas. Mahasiswa juga serung di kelompokkan ke golongan intelktual, karena fungsi dan peran mereka dalam lintasan sejarah bangsa di belahan dunia. Jargon yang sering dilekatkan pada mahasiswa adalah agent of social and moral force. Hal ini sering ditafsirkan bahwa mahasiswa tidak diperbolehkan merambah dunia politik praktis (struktural), karena harus membingkai kegilaannya dengan moralitas. Inilah yang menjadi perdebatan klasik dalam tubuh gerakan mahasiswa yang tak kunjung usai. Banyak tulisan-tulisan yang menelaah tentang bagaimana mestinya seorang intelektual berperan, baik ala proporsional maupun profesional.

Intelektual mungkin itu yang terkesan, pada benak seorang mahasiswa yang selama ini banyak diagungkan oleh banyak orang untuk melakukan perubahan. Memang kalau di lihat dari sudut yang paling luar, kampus yang dihuni oleh mahasiswa adalah gudang-gudang intelektual. Benarkah kenyataan itu? Mungkin kita memandangnya terlalu eksklusif, karena realita yang terjadi sangat berlainan. Mahasiswa dalam posisinya memiliki dua tugas yaitu; tugas sosial dan tugas intelektual. Tapi apakah tugas itu sudah ada dalam benak mahasiswa?

Pertanyaan itu perlu kita renungi, ternyata tugas tersebut harus dilaksanakan oleh mahasiswa. Akan tetapi pada kenyataannya mahasiswa yang melaksanakan tugas itu sangat minim. Kenapa pada era reformasi tahun 1998, kita lihat tumbangnya rezim otoriter berkat keberanian mahasiswa untuk melakukan gerakan mahasiswa menentang rezin orde baru.

Dalam masa reformasi, ternyata suara kritis mahasiswa semakin rapuh entah kenapa. Mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih konsisten dengan agenda reformasi. Kita lihat dari kampus mahasiswa yang bernaung, ternyata terdapat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi.


Intelektual dan Peran Mahasiswa

Antonio Gramsci, seorang marxis berkebangsaan Itali, aktivis, wartawan, filosof politik cemerlang yang pernah di penjara oleh Mussolini, menuliskan dalam bukunya Prison Notebooks, “orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”. Selain pemikir ia juga pengorganisir gerakan-gerakan kelas pekerja di Itali dan seorang jurnalis. Gramsci pun bukan seorang pengamat yang melongok fenomena, namun ia juga membentuk gerakan sosial.

Berdasarkan fungsinya di masyarakat, menurut Gramsci ada dua tipe intelektual. Pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama dan para administrator yang secara monoton mengerjakan aktivitas dengan tugasnya dengan rajin. Kedua adalah intelektual organik, mereka yang berhubungan langsung dengan masyarakat, partai politik, serta berbagai kalangan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan (pengaruh) dan kontrol. Intelektual organik ini aktif dalam masyarakat senantiasa mengubah pikiran dan memperluan wawasan masyarakat. Ia tidak diam, puas dan enjoy dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Namun, ia selalu aktif bergerak dan berbuat untuk kepentingan rakyat. Seseorang intelektual selalu mengatakan pendapat yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan kepentingan penguasa.

DOSA INTELEKTUAL YANG PALING BESAR IALAH
APABILA IA TAHU APA YANG SEHARUSNYA DIUCAPKAN,
NAMUN MENGHINDAR UNTUK MENGATAKANNYA.

Maka, pilihan yang sering dipilih oleh mahasiswa posisi oposisi daripada memilih akomodatif dengan penguasa. Sebab hidup mereka bertumpu pada pengetahuan dan kebebasan bukan pada penguasa dan jabatan.

Mohammad Hatta menuliskan “sekalipun intelektual berdiri atau duduk di luar pemimpin (pemerintahan), sebagai rakyat demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya”. Sebab bila ia tidak melakukan hal itu berarti ia telah menghianati nilai kemanusian yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidup mereka.

Seorang intelektual agar menjadi independen dan bebas dalam setiap geraknya harus mempunyai komitment moral dan intelektual. Ia tidak boleh menjadi budak yang membeo kepada penguasa yang berada dalam ruang-ruang kegilaan. Seorang intelektual bukan hanya pandai beronani dalam wacana yang abstrak namum juga mendudukkan epistemologi dan aksiologi dalam satu bingkai yang tak terpisahkan. Ia bersifat kritis, emansipatoris, hermeneutis, dan tentu saja bersikap politis. Maka dari itu ia akan mengkomunikasikan gagasannya dengan bahasa kaumnya, serta peka terhadap ketidakadilan yang semakin menggila dalam dunia yang semakin gila.

Sosok mahasiswa yang bisa diharapkan memberikan pencerahan kepada masyarakat ternyata sekarang sudah lapuh daya kritisnya. Itu tentu sangat memprihatinkan, kita teliti kebanyakan mahasiswa sekarang 3 DTP . Akhirnya kebanyakan mahasiswa terjangkiti virus pragmatisme dan apatisme.

… Ketika ke-tidakyakin-an pun
adalah suatu keyakinan ….

…Ketika tuhan mati
dan Manusia menjadi gila …?

Perspektif realitas mahasiswa dewasa ini adalah munculnya opini bahwa mahasiswa yang study oriented semakin marak. Orientasi kegilaan mahasiswa ini tak lebih dari sekedar menuntut ilmu saja. Oleh karenanya sikap apatis akan begitu kental akan terlihat pada mahasiswa tipe ini. Sehingga cenderung tidak kritis terhadap masalah-masalah di luar ruang lingkupnya itu dan tak mau tahu terhadap kondisi sosial di sekelilingnya. Sebagaimana yang di kritik oleh Freire bahwa kebanyakan dari kita hanya bisa menyesuaikan bukan etre pour soi kata Jean Pault Sarte, makanya kenapa Freire lebih sepakat dengan ideologinya Karl Mark bahwa kita harus mengubah dunia dengan kekuatan yang kita miliki sebagaimana yang di katakan oleh Filosof gila…..

Aku akan melahirkan sesuatu walau aku tidak tahu apa sesuatu itu namun sesuatu itu akan menjadi bom waktu
Begitu banyak kejadian telah kusaksikan
Tentang orang-orang yang sebetulnya bukan bajingan
Lantas menjadi demikian, karena nasib buruk, dan di paksa keadaan.

Kita juga di hadapkan pada mereka yang sering di sebut dengan mahasiswa aktivis, dalam tingkatan ini seorang mahasiswa selain kuliah aktiv dalam kegiatan lain. Mereka beranggapan bahwa ilmu tidak hanya di dapatkan ketika kuliah bahkan melalui pengalaman di luar menjadikan wahana ilmu baru baginya.


Sedang tipe ketiga adalah mahasiswa yang pragmatis atau hedonis. Di sinilah kita akan menemukan mereka yang justru menghabiskan masa mudanya untuk berhura-hura, cenderung menghabiskan study dan tak mau berorganisasi. Dalam penggolongan ini masih sangat kasar, namun dalam berbagai sisi hal tersebut sesuai dengan kondisi realitasnya.
Essensi ke eks

Mahasiswa yang moralis apolitis, study oriented menjadi gambaran umum sosok mahasiswa yang coba di kampanyekan oleh rezim di mana pun mereka berada, sedapat mungkin meraka menciptakan mitos tentang mahasiswa sebagai sosok intelektualis kritis yang hanya hidup di kampus dan kost atau rumah.


Mahasiswa yang apabila kita lihat dari basis kelasnya, merupakan segolongan masyarakat yang memiliki akses lebih besar untuk memperoleh patokan wacana ilmiah, khususnya menyangkut beberapa hal mengenai pemahaman dan wacana lebih maju di bidang sektor masyarakat lainnya yang apabila berangkat dari kelasnya merupakan kelompok masyarakat yang secara langsung mengalami kondisi teralienasi dan termarginalisasi serta terhimpit dalam suatu sistem sosio politik maupun ekonomi kapitalistik yang di bangun di atas basis penindasan manusia oleh manusia lain. Sehingga apabila muncul kesadaran dalam dirinya untuk merubah sistem dalam suatu negara, maka tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan melainkan dengan sebuah perjuangan untuk merebut kekuasaan kaum penindas untuk sesegera mungkin mengembalikan fungsi negara kejalur yang sebenarnya bagi kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat.


Tumbuhnya dunia mahasiswa menjadi sumber kepemimpinan nasional utama di samping organisasi perjuangan, di tandai oleh kuatnya motivasi mahasiswa untuk berjuang secara politik yang di sertai oleh keyakinan serta keberanian mengambil risiko dan ketrampilan politik. Memang menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dimana tiap pilihan mengandung risiko tersendiri. Demkian juga ketika memilih menjadi oposan-oposan adalah sebuah pilihan juga. Segala tindakan yang dilakukan bukan sekedar pembatal kewajiban sebagai mahasiswa tetapi leboh dari itu. Seseorang yang paham kondisi bangsanya mempunyai tanggung jawab untuk menuntaskan segala permasalahan, menggantungkan diri pada ide-ide langit juga sebuah pilihan, tetapi cukuplah sekedar intelektual-tekstual.
Mahasiswa dan Transformasi Sosial


Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan, sangat sulit mengelompokkan mahasiswa ke kelas sosial. Mahasiswa masuk ke kelas intelektual karena sikap oposisi kaum terpelajar terhadap suatu rezim yang hegemonik dan menindas. Namun bila dinilai dari gerakannya yang menggabung kritik dengan aksi-aksi massa, sukar untuk menggabarkan ia sebagai seorang resi (imtelektual). Pandangan yang sering muncul adalah mahasiswa politis yang menentang kekuasaan penguasa.

Perjalan gerakan mahasiswa tidak hanya sekedar di ukur dengan maraknya aksi dan menggulingkan kekuasaan. Tapi kita cenderung terbawa pada stigma yang pertama bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan penggulingan kekuasaan. Dalam perjalanan panjang dari gerakan mahasiswa, jebakan dan perangkap pragmatisme telah mewarnainya. Contoh, perjalanan gerakan mahasiswa pasca ’98, di mana seolah gerakan telah kehilangan orientasi dan cenderung tidak terarah dan tidak menyatu antar elemen adalah sebuah fenomena tersendiri. Mahasiswa semakin jauh dari cita-cita reformasi ketika berhadapan dengan realita yang kian menjepit, rutinitas ke-organisasi-an sampai pada rutinitas perkuliahan yang kian membelenggu sebagai seorang intelektual muda yang seharusnya organik menjadi konservatif dan cenderung pada hedonisme.

Medio tahun 1998 gerakan mahasiswa Indonesia melakukan “ledakan besar” dengan aksi yang terkenal dengan gerakan reformasi ’98. Gerakan yang telah mendobrak dan memporakporandakan kediktatoran ORBA yang di tandai lengsernya rezim otoritarium Soeharto yang telah bertahta di puncak kursi pemerintahan selama 32 tahun. Saat itu gerakan mahasiswa seolah irama konser yang begitu padu mengalunkan musiknya walaupun terdiri dari instrumen yang berbeda aliran dapat menghasilkan keselarasan dan kebersamaan. Mulai detik itu, cita-cita akan terwujudnya demokrasi yang sejati ‘berterbangan’ di setiap benak organisasi pro-demokrasi. Hampir semua orang menganggukkan kepala ketika tawaran istilah baru muncul yaitu orde reformasi untuk menggantikan ORBA seiring dengan tuntutan reformasi yang di gulirkan oleh mahasiwa.

Memang orde telah berganti dan tugas untuk membangunkan bangsa yang telah tidur lama pun telah di lakukan namun kondisi bangsa belum mengalami perubahan ke majuan. Gerakan mahasiswa 2003 – Mega-Hamza – dalam menggulirkan isunya hanya bersifat sementara dan untuk kepentingan sesaat, gerakan mahasiswa berhenti di pertengan tahun karena kekuatan mahasiswa tidak memiliki strategi yang jelas, hanya untuk kepentingan sesaat gerakan mahasiswa, serta tidak memiliki aliansi-aliansi taktis dan kesepakatan bersama. Isu-isu yang di bawa oleh gerakan mahasiswa memang hanya pada tingkat wacana, belum sampai pada tataran kenyataan (real action). Perjalanan gerakan mahasiswa kini seperti tidak punya nyali ketika di hadapkan pada isu premanisme. Apa yang di lakukan oleh gerakan mahasiswa 2003 secara esensi tidak ada yang tercapai kecuali agenda aktual seperti penanggulangan kebijakan kenaikan BBM, TDL dan tarif telpon.

Roda sejarah berkata lain, mahasiswa memiliki kemampuan untuk memobilisasi, mempelopori suatu perjuangan multi sektor dalam persfektif perubahan. Ketakutan akan kekuatan mahasiswa ini cukup beralasan karena mahasiswa pada kenyataannya memang memiliki kemampuan untuk mewujudkan idealismenya.

Agenda yang di bawa gerakan mahsiswa di bagi menjadi tiga kelompok, pertama; kelompok yang di motori oleh BEM dan senat institut yang memakai tradisi, ideologi demokrasi liberal dengan isu bagaimana mengubah kebijakan publik untuk bisa sesuai dengan partisipasi real keberpihakan rakyat, merespon hal-hal aktual seperti politik dan ekonomi. Kedua; kelompok gerakan yang mempunyai tipologi gerakan Marxis Komunis yang di motori oleh kaum muda yang punya visi strategi teknik melalui gerakan ekstra parlementer. Ketiga; kelompok gerakan yang mempunyai karakter ideologi sosialis non marxis yang di motori oleh jaringan Demokrasi Gerakan Radikal dengan agenda penolakan terhadap pemilu, tidak percaya pada produk seluruh elit, membangun masifitas rakyat melalui dewan rakyat atau semacam kepemimpinan alternatif.

Namun masalahnya yang terjadi sekarang ada gerakan mahasiswa yang benar-benar independen dan ada juga yang hidup karena patron. Kalau boleh jujur sekarang ini sudah tidak ada lagi gerakan mahasiswa yang benar-benar indefenden dan yang ada adalah gerakan yang punya patron. Dengan adanya patron maka terjadi pembunuhan radikalisasi dan militansi perjuangan. Akan ada stagnasi perjuangan dalam mengawal reformasi sehingga seradikal apapun gerakan pasti terbentur pada patronnya masing-masing. Akhirnya gerakan mahasiswa berada pada persimpangan jalan, jika salah melangkah maka yang akan terjadi adalah justru akan menjauhkan diri dari realitas yang sesungguhnya dan kemurnian dalam gerakan akan menjadi grey area. Pada hal di satu sisi gerakan mahasiswa masih sangat di butuhkan dalam merespon dalam setiap permasalahan ke-ummat-an. Tidak ada gerakan yang sempurna. Akan tetapi paling tidak gerakan itu harus di barengi dengan kekuatan idealitas yang berbasis pada kajian dan analisa secara matang, sehingga tidak terkesan bahwa gerakan tersebut telah ‘di boncengi’ oleh kekuatan pragmatisme materialis.

Ketidaksolidaritasan yang muncul setidaknya memungkinkan kecenderungan menjadi bomerang bagi cita-cita gerakan mahasiswa sendiri apalagi mendekati peristiwa politik yang besar yang di sebut pesta demokrasi atau ‘pesta rakyat’ meskipun belum tentu demokratis seperti pemilu 2004.


Sebuah keberanian yang luar biasa untuk menyuarakan kebenaran atau memprotes ketidakadilan dimiliki mahasiswa, ini melebihi orang yang tahu mendetail tentang permasalahan itu. Meskipun seorang profesor atau menteri punya kapasitas intelektual dan teori yang lebih mumpuni, mereka belum tentu berani mengatakan pendapatnya secara jujur. Sebab mereka masih khawatir dengan korsi empuk dan jabatan dalam ruang-ruang kegilaan. Oleh karena itu mahasiswa sudah dianggap sebagai hati nurani rakyat yang mampu menyuarakan aspirasi yang mereka percaya. Meskipun tindakan yang mereka lakukan kadang-kadang sedikit anarkis, penuh heroisme, serta kurang mau berkompromi. Mereka menginginkan adanya suatu proses transformasi ke masyarakat, apakah itu sistem politik, ekonomi ataupun sosial. Hal ini bisa di pahami sebab kecenderungan politik mereka untuk sebagian merupakan sifat berontak atau gejolak jiwa remajanya.

Sikap revolusioner dan radikal mahasiswa itu juga disebabkan oleh tidak betahnya melihat ketertindasan masyarakat akibat prilaku penguasa. Ia menginginkan revolusi dan perubahan mendasar secara cepat. Menurut Wahib, gerakan mahasiswa di Indonesia tidak pernah siap dalam meghadapi situasi kritis. Kekuatan revolusioner mahasiswa selalu gagal dalam merebut pimpinan dan memimpin inisiatif di saat-saat genting yang menentukan. Kebanyakan aktivis sekarang hanya seorang pejuang lapangan dan bukan seorang pemikir. Padahal Soekarno, Hatta, Syahrir dan Soe Hok Gie adalah seorang intelektual yang sekaligus seorang demonstran. Ia tidak hanya fasih berdiskusi, namun juga lihai melakukan aksi.

Sampai di sini, ada beberapa agenda baru (walau sudah ada) yang harus dilakukan oleh mahasiswa, yaitu;
Pertama; Gerakan mahasiswa harus senantiasa melakukan kajian-kajian kritis dan strategis. Kajian kritis dilakukan untuk memperkuat basis epistemologis dan menelanjangi kesadaran kritis untuk berbuat emansipatoris terhadap masyarakat. Pengenalan terhadap wacana-wacana kiri, teori kritis, ideologi ataupun kontemporer bisa di godok dalam ranah ini. Kajian strategis bermanfaat agar gerakan mahasiswa senantiasa responsif terhadap perubahan yang terjadi. Dengan jalan itu, mereka menjadi perduli dan merencanakan agenda aksi secara mendalam, kritis dan sistematis.
Kedua; melakukan aksi yang bersifat netral dan tidak memihak pada golongan manapun. Gerakan mahasiswa harus mengkritisi semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Ketiga; mahasiswa harus bersikap egaliter dan terjun langsung ke masyarakat, tentu saja untuk melakukan pemberdayaan dan pencerdasan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mahasiswa hendaknya bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan mensejahterakan kebutuhan rakyat.
Keempat; membongkar polarisasi label antara aktivis dan intelektualis, atau antara “birokrat” organisasi dengan tukang diskusi.

Saat ini hanya ada dua hal yang dapat dilakukan oleh kaum muda mahasiswa, pertama; duduk dan menunggu untuk di tindas oleh tirani, kedua; berdiri dan maju untuk berjuang melawan tirani. Dengan demikian euforia gerakan mahasiswa tahun 1996 dan 1998 dapat kembali terulang tetapi dengan beberapa catatan kaki yang salah satunya yaitu konsep perubahan dari gerakan mahasiswa harus jelas dan terarah, sistematis dan skematis menuju pada perkembangan dinamika masyarakat yang makmur dan sentosa.


… Kau harus mati
Demi yang lain
Hidupmu akan menaik membumbung
Bagai garis vertikal
Bagai gelombang
Bagai badai
Bagai puncak tinggi menjulang
Diantara bebukitan
Bagai sebatang pohon cemara
Bebas seperti lumut diantara lelumutan
Tumbuh ke arah mentari
Menjulang tinggi keangkasa …

Ali Shariati


Sekali lagi ku ucapkan; Salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali

No comments: