Wednesday, February 4, 2009

Ornament ruang sidang

Ornament ruang sidang
Cerpen: Sulhaidi

Aku bukan siapa-siapa dan putra dari bukan siapa-siapa. Jangan tanya siapa aku dan jangan tanya aku untuk tidak berubah. Aku hanya anak rantau yang punya segudang penderitaan. Pulang di marah, hilang tak di cari mati tak di tangisi.
Aku seorang pria gila!! Gila karena cinta.
O Cintaku kepadamu yang membuatku menari, aku mabuk, aku gila
Apa mesti bisa kulakukan ?
Wahai cahaya kami, pesta kami. Wahai kebahagiaan kami yang menang. Arahkan kami.

SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT
Yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin

Ruang sidang itu kira-kira berukuran 4×6 meter persegi. Posisinya diapit oleh perpustakaan dan sebuah organ pergerakan. Ruang sidang ini boleh dibilang paling kecil diantara yang besar. Biasanya digunakan untuk rapat, kuliah, audiensi dan lain-lain. Kalau difikir-fikir kurang kondusif memang sebab sangat terbatas. Korsi yang tertata kurang lebih dua puluh sandaran. Laris. Kecil namun segudang manfaat. Sementara tepat di sebelah barat terdapat sebuah ruangan yang bertuliskan UPT. Perpustakaan. Lumayan walau masih ketinggalan jauh dari universitas-iniversitas kenamaan di kota gudeg ini. Tempat ini ramai kalau saat saat tertentu. Jam kosong, cari referensi atau hanya sekedar iseng. Sudah lebih dari empat semester aku tidak menginjakkan kaki di ruang kutu buku ini. Tak ada niat sama sekali untuk masuk apalagi untuk meminjam buku. Yang tersedia hanya lembaran-lembaran dokumen usang. Behind the time. Kalaupun ada yang baru hanya dipajang di etalase. Padahal dana untuk Perpustakaan tergolong lumayan tapi… ah persetan, it’s not my bussines. Gumamku. Aku hanya ingin merangkai kata dalam kesunyian ruang sidang. Sebelumnya aku akan menumpahkan tinta hitam ini tentang organisasi dimana aku berkutat, membenturkan kepala dan otak.
Semester tiga turut surut tenggelam bersama si jargon merah. Awal kurasakan sangat cocok, hitung-hitung sebagai tempat untuk menutupi lobang-lobang yang masih bocor. Ruangnya sangat kecil. Terkadang kalau ada rapat atau diskusi ada yang harus di luar sehingga membuat ruangan menjadi pengap. Kawan-kawan menyebutnya “Lorong Bawah Tanggalah”, “Istana Bawah Tanggalah” atau “IBATA”. Berjuta warna berkumpul dalam ruang yang sempit itu. Dari Sabang sampai Merauke bahkan dari Thailand. Kolektif kolegial yang membuatku terharu. Itulah yang coba di bangun dalam lorong bawah tangga, lorong tangan-tangan malaikat kecil. Siang dan malam mereka rapat dan diskusi. Hampir tidak ada libur. Berbagai macam wacana di bahas. Mulai yang berbau ke kanan-kananan hingga ke kiri-kirian, normatif, ekstrem, radikal dan moderat.
Diskusi merupakan kegiatan yang paling aku sukai diantara yang lainnya. Di sinilah aku belajar mengasah otak, bersilat lidah dan membabat habis semua yang bertentangan denganku, sebagaimana organ-organ lainnya. Saya percaya antinomi atas antinomi pasti berlaku laiknya banyak Filosof berkata “konstruksi tanpa kritisisme menuju kebutaan dan kritisisme tanpa konstruksi hanya menuju kehampaan/ketiadaan”.
Disini juga aku memasuki dunia baru. Dunia kegilaan. Filsafat. Antara yang minim dari yang diminati. Berawal dari kebingungan berbaur dengan ketidaktahuan berakhir dengan kebingungan, syarat dengan dunia abstrak. Koleksiku sudah mencapai ratusan buku. Mulai dari Thales, Socrates, Karl Marx, Derida, Focoult hingga filosof gila Nietzche, masih banyak filosof-filosof lain yang tak mampu ku tulis dalam lembaran kertas putih ini. Dunia filsafat telah melupakan jurusan kuliah yang ku ambil. Bahasa Inggris. Aku jenuh, bosan dengan bahasa Inggris, terlalu banyak formula yang harus di hapal. Sementara kepala ku sangat kecil tentu saja otakku terbatas. Aku mulai meninggalkan kelas, apalagi ditambah beberapa dosen membuatku muak tuk menatap mukanya. Aku telah gila, mabuk dengan duniaku. Tuhan telah gilakan aku karena Ia sehingga tampak menjadi gila. Itulah yang coba kutelanjangi dari kedua bibir sosok panutan umat muslim seantero dunia. Muhammad. ”Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu”. “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya”. Secara esensi tidak ada manusia yang mampu menembus ucapan itu, tapi paling tidak kita dituntut untuk mengetahui hakekat kehidupan. Sungguh abstrak. Wajar jika minim yang bergelut di bidang ini. Difikir-fikir secara rasional menghamburkan waktu. Tak ada yang di hasilkan hanya dengan duduk dan termenung. Memikirkan dunia kehampaan dalam dunia abstrak. Inilah celoteh orang modern dalam dunia yang dilipat. Demitologisasi yang kebablasan. Sungguh superfarsial pikiran itu. Dan aku berbalik radius. Perbedaan yang sangat mencolok diantara kawan-kawan pergerakan. Aku sering di juluki filosof gila, atheis, dan bahkan sekuler. Akal dan jiwa ku sudah gila. Aku senang sebab aku faham apa yang dilemparkan, lagi pula itu hanyalah penilaian. Hanya Tuhan terkasih dan aku yang tahu aku gila atau tidak. Pelontar hanya sebatas tahu di bawah faham, setipis kulit bawang perbedaannya, tapi melebihi eksistensi manusia dan dunia dimana kakinya berpijak. Sangat berat memang, maka wajar orang awam beranggapan belajar filsafat bisa gila. Tapi aku sepakat dengan Louis O Kattsof yang mengatakan bahwa “Siapapun dia selama dia mampu berfikir secara sehat maka dia mampu berfilsafat”.
Aku teringat dengan paradoks yang di ucapkan seorang sufi dan penyair Persia tersohor. Rumi. Beliau menggambarkan bahaya ini dalam kisahnya tentang pencuri yang masuk ke sebuah kebun dan mencuri beberapa buah delima. Sang pemilik tiba-tiba berada di sana dan menagkap basah dia.
“Apakah kamu takut kepada Tuhan?” dia bertanya kepada sang pencuri.
“Mengapa aku harus takut?” jawab lelaki itu. “Pohon ini milik Tuhan, buah delima ini milik Tuhan dan aku adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan tidak lain memakan barang milik Tuhan”.
Kemudian, pemilik kebun memerintahkan para pelayannya untuk menarik sebuah tambang dan mengikat lelaki itu di pohon.
“Inilah jawabanku” kata lelaki pemilik kebun ketika dia mulai memukul pencuri itu, sebagai reaksinya pencuri itu berteriak:
“Apakah kamu tidak takut Tuhan?”
Dengan tersenyum, pemilik kebun menjawab” mengapa aku harus takut? Ini tongkat Tuhan, tambang inipun milik Tuhan dan kamu hamba Tuhan. Jadi, aku sedang memukul hamba Tuhan dengan tongkat Tuhan”.
Aku berfikir. Tuhan itu kadang lucu, ya? Dan aku jika memikirkan-Nya kadang-kadang tertawa sendiri, sehingga gigiku yang putih bersinar ini tampak. Sungguh merangsang alam imajinasiku yang selama ini terlelap bersama tradisi. Budaya yang tidak bisa ku terima secara rasional. Aku mulai saja dari bagian tersulit dan penuh resiko ini.
Sebagai aufklarung, aku membaca buku-buku yang berbau normatif terutama dunia tasawuf. Rumi dan Muhammad Iqbal merupakan tokoh yang sangat ku senangi. Keindahan puisi dan syair-syair mereka mengandung aroma estetik yang membuat bulu kudukku merinding, hingga aku pun ikut mabuk dengan racun-racun yang di tinggalkan. Filsafat mengutamakan rasio dan akal dalam berfikir secara radikal dan eklektis sedang tasawuf mengutamakan hati dan spiritual. Bergelut dalam gelombang dua dunia inilah membuatku menemukan citra diri sebagai seorang manusia dan sadar betul siapa “aku”?. Dalam dunia tasawuf juga aku menemukan makna kedalaman cinta. Ya… misteri yang tak dapat dipecahklan hingga sekarang dan entah sampai kapan. Sesuatu yang abstark, suci dan sakral namun mampu menghancurkan sesuatu yang kongkret.
Di organisasi inilah aku mulai belajar membaca. Tersurat maupun tersirat. Aku membaca bukan karena didorong oleh kehendak untuk menulis. Tidak. Aku membaca karena itulah kelemahanku. Kesadaran telah menampar otakku. Aku belum bisa membaca baik dalam arti membaca yang mencoba menganalisa. Di tilik dari jelujur masa silam, aku tak pernah tahu dengan teks. Seperti orang kebanyakan, yang tuna dengan sebarisan huruf yang membentuk parafrase teks yang melentur dalam buku.
Dari buku aku belajar mengungkap sesuatu yang bersemayam di alam pikiran. Mencoba mengaplikasikan secara sistematis. Walau tulisannya berat-berat dan bahasanya melangit. Istilah-istilah yang digunakan bukan istilah biasa tapi istilah yang entah dicopot dari mana. Hal ini kurasakan ketika membaca buku yang berjudul “Menggugat sejarah ide” karya Focoult. Tapi aku tidak mau mati dalam komunitas, maka mencoba dan terus mencoba. Trial and error.
Timbul keinginan untuk menulis atau sejenisnya, harapanku kelak dapat didiskusikan atau dipresentasikan. Kali pertama aku menulis sebuah makalah dengan tema “Komodifikasi Pendidikan dalam Zaman Kontemporer”, “Wanita Kontemporer” lalu “Ontologi Cinta”, “Metafisika unsur utama dalam Filsafat”, ”Dekadensi Moral”, “Pendidikan Anak dalam Islam”, ”Element of Philosophy (Pengantar Filsafat)”, ”Pendidikan dalam Lingkaran setan”, “Filsafat Pendidikan”, dan terakhir sebagai pengejawantahan dari visi dan misi kala kawan-kawan seangkatan mencoba menggagas substratum sebagai landasan. Tepatnya Workshop Pendidikan dan Dikpol (Pendidikan Politik). Gerakan Mahasiswa antara Intelektual dan Sinergisitas. Sungguh merangsang temanya. Itulah beberapa tulisanku. Bukan asli sebab hanya memindahkan dari berbagai referensi yang ku punya. Aku hanya meracik dan menjahit-jahitnya sehingga mempunyai rangkaian makna walau masih banyak terdapat kecacatan. Aku sadar ini hanyalah plagiasi, namun siapa sih kali pertama menulis tidak melakukan ini. Bahkan Jean Paul Sarte, Filsuf eksistensialisme sayap kiri Prancis pun melakukan hal ini ketika pertama kali menulis novel. Pour an Papillon (Demi Kupu-kup).
Aku teringat kata-kata Prof. Djohar, Rektor UST ketika menghadiri seminar di UGM. Beliau mengatakan bahwa: “Penulis Indonesia ini hanyalah penggali sampah tidak ada yang orisinil”. Senada yang diucapkan Roland Barthes, pada dasarnya tulisan itu tidak ada yang orisinil: teks adalah sesuatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Semua itu tidak membuat nyaliku ciut untuk belajar menulis walau hanya sebagai plagiasitor.
Buku-buku yang sudah ku baca dan kutulis merupakan modal yang selama ini membuatku buta huruf, berfikir dan menulis. Semua ku bakar dalam diskusi, seminar dan sejenianya, tak jarang juga aku menempel coretan diding di tengah-tengah riuhnya papan yang berserak.
Istana Bawah Tangga – ISBATA — yang terletak di tengah-tengah BEMF Sastra dan Perpustakaan itu tidak pernah sepi dengan aktivis, entah aktivis tulen atau kacangan. Di sini juga aku mengenal seorang mahasiswi yang berasal dari Pemalang. Sebut saja namanya Yanti. Melaui dia aku banyak melakukan sharing atau diskusi, baik formal maupun non formal.
Lima bulan kurang lebih aku turut bergabung dan tenggelam bersama si Merah. Semula berjalan biasa-biasa saja, tak terbesit hal-hal lain apalagi perasaan. Tapi aku yakin semua organisasi tidak ada yang sempurna dalam artian pasti mengalami kecacatan. Begitu juga dengan organisasi dimana aku bergabung mulai kehilangan ruh. Padahal ruh merupakan elan vital bagi pergerakan. Laksana jiwa bila tanpa ruh, bangkai yang tergeletak. Permasalahan mulai berontak. Hedonisme, individualisme bidang hingga romantisme. Pada titik inilah hesitasi ku melonjak, jenuh dan bosan. Rapatpun digelar. Hampir tiap minggu diadakan rapat dengan harapan semua permasalahan dapat selesai. Aku kembali berfikir apakah sebuah masalah akan selesai hanya dengan rapat? Tidak. Rapat merupakan media mencari solusi. Sementara hasilnya harus di aplikasikan. Teringat olehku perkataan Freire. Penggagas pendidikan kritis. Beliau mengatakan bahwa antara media teoritis dan praktis harus seiring sejalan sehingga memasuki tataran praksis tidak mengalami kepincangan yang teramat sangat. Konsep tinggal konsep dan teori tinggalah teori. Keduanya belum tentu bisa mesra dengan realita. Etre Pour Soi tambahnya. Di sinilah tingkat kulminasi ku mulai kedodoran hingga pernah suatu ketika dalam Rapim –rapat pimpinan- sengaja aku molor satu jam bersama temanku. Budi. Sebelumnya aku bilang sama Budi:
“Bud, malam ini ada rapat pimpinan, bagaimana kalau kita tidak datang?”
“Aku sih oke-oke saja” jawab Aris singkat
“Tapi kita ke tempat Adrik dulu” ajakku
Kami pun bergegas melangkahkan kaki menuju sorga Adrik. Malam yang gelisah menemani perjalanan. Purnama menyinari kecemasan malam, menembus lorong-lorong gelap. Pepohonan tampak menari-nari menghiasi taman sorga kediaman Adrik. Yang lain membeku dalam halimun yang bermandi cahaya taram bulan. Sungguh sial malam ini, Adrik pergi entah kemana. Bingung. Hening. Kecemasan malam benar-benar tidak bersahabat. Beberapa menit kemudian berhala kecil ku berbunyi. Sms. “Boy, Bud cepatan ke kampus ada dua orang yang menangis”. Alang kepalang kaget bukan main. Apa gerangan ? Di tengah kecemasan yang memuncak kami melejit menuju dunia mahasiswa. Rapat kali ini ternyata rapat ajang justifikasi, inilah moment yang ditunggu-tunggu. Kali ini sangat serius. Kekecewaan, emosi dan air mata bercucuran yang terlihat. Aku hanya terpaku. Jiwaku diam-diam berontak. Menjelang akhir rapat akupun turut memuntahkan segenap kekecewaanku. Dengan nada emosi dan kecewa aku mengatakan : “Aku tidak akan meminta maaf atas keterlambatanku datang karena ini sering terjadi, entah bidang manapun yang mengadakan. Apakah organisasi ini akan hidup hanya dengan rapat ? Hanya membuang waktu dan energi. Mending bubar. Pulang dan tidur” . Pedas dan tajam kata-kata itu. Benar apa yang di ungkapkan oleh Subcommandante Marcos bahwa “kata adalah senjata“. Aku tidak perduli. Suasana menjadi hening yang terdengar hanya suara kipas. Aku tidak mendapatkan apa-apa dalam rapat ini. Mungkin aku belum bisa memahami bahasa tanpa kata atau belum bisa membedakan tanda dan tetanda kata Alkemis. Yang tersisah kecewa dan jengkel.
Paska rapat ketua bidang – KaBid– menawarkan pertemuan. Entah tetanda apa yang membawaku ke alam bawah sadar. Apakah pikiranku kusut dan kacau di tambah masalah pribadi yang selalu menghantam otakku atau apa ? Di selingi juga dengan gelagat seorang teman yang menunjukkan emosinya kepadaku. Apa gerangan yang telah ku perbuat? Di tengah keriuhan dan kecemasan aku pulang dengan Adrik. Sepanjang perjalanan pikiranku melayang entah kemana? Umar Bakri adalah markas pergerakanku. Berjuta etnis kumpul di tempat apek ini, tidak pernah sepi selalu ada kegiatan. Tiap malam minggu di adakan diskusi dengan tema yang lebi bebas dari yang formal. Nama ini sudah melejit hampir seluruh Indonesia.
***

Jalan Pramuka yang berisik. Tiap hari selalu ramai dengan bus Kota. Mereka berpacu saling salib untuk mengejar penumpang demi sesuap nasi. Tak perduli pantat-pantat bus itu mengeluarkan racun hitam. Hanya penumpang yang terpikir. Malam sudah tidak ada lagi bus yang beroperasi. Dalam langkah yang tak ku sadari, burung dalam malam menjerit-jerit lalu mengurung dari pepohonan beringin yang tercancang di pojok kuburan pinggir jalan. Jeritannya menyobek kelambu keheningan tak ada yang bisa ditanggkap cangkang telingaku kecuali keheningan. Kami pulang sekitar pukul sepuluh. Sesekali terdengar suara motor yang hingar bingar.
Waktu terus berlari. Malam mulai meremang. Dingin udara menyapa jiwaku dengan mesra, jiwa yang sudah remuk. Raga yang lemah bisa dipulihkan kapan saja. Dalam seminggupun bisa. Tapi jiwa yang sakit perlu waktu bertahun-tahun untuk sembuh. Aku menyendiri dalam kotak yang terpencil. Mengindari orang. Pintu kamar masih terngangah lebar. Udara bak serdadu menyerbu masuk. Dingin. Aku tenggelan dalam dunia kegalauan. Berhala kecil di atas meja berbunyi. SMS. Isinya Yanti kecewa. Belum selesai aku menikmati dunia melankoni. Dunia kegelisahan dan kesedihan. Yanti pun menghantam otak ku. Entahlah,,, ku rogoh saku celana dan mengeluarkan sebatang rokok teman kesendirian dalam keheningan. Gumpalan asap berhamburan keluar dari mulutku. Sungguh nikmat kretek di malam ini, pikirku. Ku lihat jam baker sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Jam itu ku beli kali pertama kost di Pandean, tepatnya di belakang Rumah Sakit Hidayatullah. Tiga puluh ribu rupiah. Sayangnya jam itu sudah rusak dijatuhkan teman yang entah mencari apa. Yang tersisah hanyalah kerangka mati. Mataku lelah. Aku membaringkan badanku di atas selembar karpet biru dan tipis.

***

Kring… kring… kring… jam baker berdering. Detik-detik jarum jam berputar. Pukul empat tiga puluh lima menit. Sayup-sayup suara azan terdengar. Aku mencoba bangun walau masih menahan rasa kantuk. Wudhu dan sholat.
Ku ambil buku yang bergambar bintang dan bulan, Teologi Kiri, karya Abdul Munir Mulkhan. Aku tidak bisa konsen membaca hanya membolak balik halaman yang masih beraroma shoping itu. Apakah isinya terlalu rumit atau memang pikiranku yang masih kusut? Yang jelas hesitasi telah mendominasi alam pikiranku. Bukupun ku lempar sembarangan.
Berhala abu-abu kecil yang tergeletak di atas meja membuatku gelisah. Berhala yang telah menggantikan Tuhan bagi orang-orang modern, di elus-elus dan dibelai. Kemanapun pergi selalu di bawa. Ke kampus, masjid, kantor bahkan kamar istimewa alias Wc. Sungguh Tuhan baru bagi manusia. Tombol-tombol kecil yang tertata rapi ku pijit tuk merangkai kata-kata. Jadilah pesan. Isinya aku ingin bertemu Yanti untuk klarifikasi tentang smsnya tadi malam. Sms yang telah membuyarkan pikiranku. Pesan itu telah ku kirim. Sembari menunggu balasan, aku hanya terpekur di ruang yang apek laksana penjara. Hp yang telah ku letakkan di atas meja berbunyi. Tit… tit…tit… smsku pun di jawab. Ternyata dia tidak bisa, karena dia ada kuliah. Aku seperti orang hilang. Setelah sholat dzuhur aku beranjak ke kampus, Menyusuri keramaian Kota, memecahkan asap kendaraan yang hitam. Aku berjalan dengan harapan baru, harapan untuk bertemu walau ada segan. Segan, karena aku tak tahu harus berbuat apa. Segan, karena aku lelaki yang miskin, yang penuh noda, selengek-an seperti gembel, dan bau seperti wedus.
***

Hari senen yang menggelisahkan, deru bus kota berpacu di jalan Pramuka. Bus-bus kota itu menggumpalkan asap hitam, saling salib berebut penumpang. Demi sesuap nasi bagi anak bini mereka. Tak perduli peraturan, yang penting mencari nasi. Pukul satu kurang dua puluh menit setelah menunggu dengan harapan yang rapuh, harapan yang sekarat, tepat didepan komisariat aku bertemu Yanti.
“Yanti, kamu ada kuliah sekarang?” tanyaku pada Yanti.
“Ya. Aku mau mengkopy makalah dulu, nanti baru masuk kuliah” jawab Yanti sembil menunjukkan makalah.
“Hmm…” aku hanya diam
Diapun pergi keluar kampus menuju fotokopy. Sementara aku pergi dengan segudang kekecewaan. Tak terlintas sedikitpun dalam naluriku untuk masuk kuliah. Aku tidak perduli masalah akademik akan bobrok. Tapi aku juga tidak mau bunuh diri dalam kelas. Dengan berat aku melangkahkan kaki pulang. Aku hanya menyadari terisolasi dari keramaian. Tak ada yang dapat ku lakukan. Tak terasa dalam kesendirian azan magrib terdengar. Aku bergegas mengambil wudhu. Cari makan ke angkringan. Pemilik angkringan itu lumayan bisa menghibur walau hanya sebentar. Mukanya mirip dengan seorang filsuf atheis. Karl marx. Yang membuatku senang nongkrong di angkringan ini bukan hanya sekedar murah namun pemiliknya yang bisa di ajak bercanda dan ramah. Bahkan juga bisa berbicara bahasa Inggris, walau ala kadarnya.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku melangkahkan kedua kaki menuju surgaku. Malam ini aku harus menyelesaikan tugas mata kuliah scientific writing yang di ampu Pak Adi Sutrisno. Saking capenya akupun terlelap di atas tumpukan manuskrip-manuskrip yang berserak, hingga subuh menjelang.
Pagi yang menggelisahkan. Tugas itu terus memburuku. Dua minggu telah ku gadaikan. Tepat pukul delapan ketika sudah selesai dan diprint out tinggal di jilid dan di kumpul. Tiba-tiba berhala kecil itu berbunyi. Segera ku buka. Sms dari Yanti. Dia tidak kuliah. Katanya dia telah menunggu di komisariat. Aku bergegas mandi. Dengan tegap dan pasti aku beranjak pergi kekampus.
Hari ini hari selasa. Di komisariat ada beberapa kepala manusia, termasuk Yanti yang sudah menunggu entah dari jam berapa. Aku duduk sebentar, lihat beberapa kolom koran baru. Republika merupakan koran langganan di organ ini. Karena tidak mungkin membicarakan masalah ini di ruang yang ramai jadi kami pindah ke ruang sidang.
Pukul sembilan ketika kami masuk ke dalam ruang sidang. Kebetulan pagi ini, ruangan ini tidak di pakai. Kami berbicara panjang lebar. Duduk berhadapan. Dengan batas dua buah korsi. Hening sesaat. Aku bingung memulai dari mana untuk mengawali pembicaraan. Aku menarik nafas panjang dan memulai bicara.
“Apa khabar ?“ tanyaku sembari menggaruk-garuk kepala.
“Baik“ Jawab Yanti.
“Kita mulai dari mana pembicaraan ini? “ Tanyaku lagi.
“Terserah“ jawabnya singkat
Suasana hening. Ke dua insan yang berlainan jenis ini membisu. Hanya putaran kipas yang terdengar. Aku mencari kata yang tepat untuk mulai.
“Baiklah. Aku ingin menanyakan tentang smsmu pada malam kemarin. Apakah maksud kamu kecewa pada ku? Tanyaku sembari mengeluarkan hp dan membuka smsnya yang sengaja tidak ku hapus”.
“Kenapa kamu harus mempertanyakan itu?” jawab Yanti dengan gelisah.
“Aku tidak butuh pertanyaan, aku butuh jawaban” paparku dengan tegas.
“Iya, tapi,,,, “
“Tapi kenapa?”
“Apakah itu penting?” tanya Yanti
“Aku sudah bilang. Yang kubutuhkan sekarang jawaban, bukan pertanyaan. Aku harap kamu paham apa yang kumaksudkan. Ya atau tidak. Kalau ya aku akan mengambil langkah selanjutnya dan kalau tidak akupun tetap akan mengambil langkah. Itu tergantung dari jawabanmu dulu, baru aku akan menjawab”.
Suasana ruang sidang itu hening kembali. Sebenarnya aku tidak tega mempertanyakan hal ini. Namun karena mengganggu maka mau tidak mau harus di selesaikan. Yanti menjawab “Ya. Aku kecewa sama kamu”.
“Yakin kamu kecewa!” Tanyaku lagi.
“Kenapa malam itu kamu meninggalkan saya tanpa meninggalkan apa-apa, saya sudah menawarkan untuk kumpul sebentar bersama teman-teman yang lain, tapi tidak diperdulikan? aku juga manusia yang perlu di hormati dan di hargai. Siapa yang tidak kecewa bila di perlakukan begitu?” Papar Yanti.
“Terima kasih atas jawabanmu. Aku akan mulai dari diriku sendiri. Aku sadar sesadarnya. Siapalah diri ini? Maaf bila kedatanganku di organisasi ini hanya bisa menjadi lalat penggangu, penyebar virus yang berseberangan dan sangat radikal. Aku akan anggkat kaki, hengkang dari organisasi”.
“Maksudmu keluar dari bidang IPTEK atau keseluruhan secara struktural” Tanya Yanti seakan tidak percaya.
“Aku akan keluar secara keseluruhan, keluar dari organisasi. Mungkin dengan keluarnya dari organisasi. Kawan-kawan bisa bergerak dengan lancar. Tidak akan ada yang menggangu dan menghalangi. Aku yakin kamu pasti senang bersama kawan-kawan yang lain menjalankan semua agendamu tanpa orang gila seperti ku ini”.
“Naif sekali, hanya gara-gara kata kecewa kamu mengundurkan diri!”
“Apa. Naif !!! Berani sekali kamu bilang naif. Asal kamu tahu apa yang kudapatkan tidak seimbang dengan yang kulakuakan. Apa kamu tidak merasa aku sendiri sudah sering di perlakukan begini ketika mengadakan diskusi atau forum lain, tapi aku tidak pernah mengeluarkan rasa kekecewaanku. Apalagi dengan mengacu langsung mengirim sms. Seolah-olah akulah sumber malapetaka itu. Apa aku pernah mengucapkan kecewa ke padamu secara langsung? Tidak khan. Kok kamu bilang naif sekali. Aduh, aku gak habis pikir padahal di bidang IPTEK masih banyak teman-teman yang lain. Tapi kenapa kamu harus menunjukkan kata kecewa itu padaku, hanya aku lagi yang di sms. Lantas kemana Adrik, Wiwik dan Fika?”
Ketika aku menjelaskan ini, emosiku mulai naik. Kehilangan kontrol. Ruang sidang berubah menjadi mendung. Yanti menangis. Butiran mutiara-mutiara kecil berjatuhan dari kedua matanya yang hitam. Rasa penyesalan dan bersalah telah membuatnya sedih. Penyesalan tinggal penyesalan tidak akan bisa berubah. Aku sendiri tidak tega ketika melihat seorang wanita menangis apalagi hanya gara-gara aku. Tanpa ku sadari akupun menangis. Dua insan itu dilanda air mata dalam sekap dinding ruang sidang. Aku sendiri tidak habis fikir. Kenapa aku bisa menangis hanya gara-gara masalah sekecil dan sesepele ini. Sangat jarang seorang lelaki bisa mengangis, apalagi hanya masalah organisasi. Aku tidak munafik. Di ruang sidang itu aku benar-benar menangis. Aku menangis bukan karena dia. Aku menangis karena teringat nasehat ibuku. Dia telah menyematkan cemeti yang amat sakral. “Dimanapun kamu berada jangan pernah menyakiti orang lain”. Nasehat inilah mencambukku ketika aku berbuat kesalahan. Nasehat ini juga yang mengontrolku dari negeri sejuta warna ini.
Dengan tersedu-sedu, Yanti mulai bicara “aku minta maaf, apa yang bisa ku lakukan agar kamu bisa tenang?” pinta Yanti sembari memohon…
“Sudahlah yang lalu akan berlalu bersama angin kekecewan, keputusanku sudah bulat”. Jawabku dengan emosi. “Aku sudah apriori”.
Pertemuan di ruang sidang itu merupakan buah karya selama setengah perjalanan di organisasi. Tak di nyana berakhir tanpa solusi yang memuaskan dari kedua belah pihak… pertemuan ini berakhir hingga pukul satu siang. Aku pergi dengan membawa sekantong plastik hitam kekecewaan.
Hari-hari ku lalui tanpa makna. Tiap jam, menit bahkan detik. Kehampaan. Hanya alam yang dengan setia menemaniku dalam dunia dimensi tanpa batas. Kuliahku mati suri. Di organisasi hanya sekedar menampakkan batang hidung. Tidak lebih. Rasa penyesalan dan bersalah terus menghantui. Menyesal karena aku telah mengeluarkan kata-kata yang tak semestinya ku keluarkan. Bersalah karena tidak mampu meredam ego. Sangat berseberangan dengan yang ku pelajari. Filsafat, ajaran-ajaran Budha dan Tasawuf.
Ketika kejadian ini aku sebagai salah satu Steering Committee pada acara Workshop Pendidikan. Padahal posisiku sangat penting dalam agenda ini, sebab salah satu materi yang paling vital ada di tanganku. Makalah yang telah ku ketik sebanyak dua puluhan itu ku titipkan lewat teman. Adrik. Dia juga salah satu Steering Committee pada Workshop Pendidikan.
Aku hanya terpekur di kamar. Banyak hal yang melintasi pikiranku. Peristiwa itu berlangsung dengan cepat seperti serpihan-serpihan yang tak gampang disambungkan. Ia menghambur pergi. Tiba-tiba ada bisikan yang sangat kuat menyapa. “kamu hanya tersandung batu kerikil. Hadapilah kenyataan. Kamu berada di dunia nyata, bukan di alam ide. Di balik kesulitan ada kemudahan. Bangkit dan tegaplah menghadapi aral kehidupan. Kalau tidak kamu akan terisolasi dari pluralisme sosial”. Sungguh ilham yang telah membangkitkan elan vitalku. Sembari tersenyum hati kecilku berucap “Inilah hidup, penuh keunikan dan keanehan. Misterius”.
Dunia terlihat seperti gugusan bayang-bayang, tercipta laksana segumpal cahaya yang terang benderang, mengintari hati dan melukis warna warni impian. Aku harus belajar hidup didunia tapi tak meletakkan hati di dunia. Kanuqauman min ahlid dunya wa laisu min ahliha.* Hidup tak bisa diraba dengan sekali baca. Bahkan berkali-kali baca pun belum ada jaminan terpahami. Ia seperti kuda yang berlari kesesatan. Atau bisa jadi mahluk kejam serupa shagol gurun. Membantai, mengerat siapa pun yang berani masuk mengintainya di Padang halaman yang datar tanpa tepi. Ganjil genap.
HATI-HATI!

Hidupmu selalu di barengi susah, tak ada sesuatu kebahagiaanpun kecuali kau raih dengan kesusahan. Kenikmatan duniamu ialah beracun tak ada kenikmatanpun kecuali beracun. Apabila sesuatu telah sempurna maka akan tampak kekurangannya. Sesuatu akan hilang apabila telah sempurna.

***
Oemar Bakrie dalam kebisuan malam
Yogyakarta yang kelabu, Juni 2005

Saturday, January 17, 2009

VOICE OF POSMODERNISM AS REFLECTED IN SPEECH TEXS IN UMBERTO ECO’S TRAVELS IN HYPER REALITY

VOICE OF POSMODERNISM AS REFLECTED
IN SPEECH TEXS IN UMBERTO ECO’S
TRAVELS IN HYPER REALITY


A. Background of study
In this part, writer tells about background or reason of the title. Writer tries to give an explanation about picture of hyper reality and critiques through on reality the first countries which try to present pure simulacrum although its just imitation. 

B. Identification of problem
Related to naration before, there are many problems that can be raised in relation to analysis of Umberto Eco’s Travels in Hyper Reality. The writer finds that the book Travesl in Hyper Reality contains postmodernism issues. Based on the background study, there are some poblems that identified as follow:
1. How binary opposition made hegemony in the Travesl in Hyper Reality.
2. Diction used by Umberto Eco in the Travesl in Hyper Reality.
3. Code mixing used in in the Travesl in Hyper Reality.
4. Proverbs used in the the Travesl in Hyper Reality.
5. How logo-centrist superiority in the Travesl in Hyper Reality.
6. How the writer influenced reader.
7. How the structure analysis was imfact in the Travesl in Hyper Reality.

C. Limitation of the problem
 To make this research more directed and oriented, the writer needs to make a scope of the research so that the description about the subject that will be discussed will not be too wide. Without making scope on the subject, the discussion will not run well and the result will not be good.
 Related to the background for choosing the subject above, the writer will focus this research on the style in rhetorical form used in the text. The researcher uses the constuction thoery to analyze, expecially Derrida’s theory. The step analyzing the book is begun by finding the binary opposition that hegemony in the book and finding the traces. Those problems will be analyzed on the postmodernism theory.

D. Formulation of problem
 Based on the assumption from limitation of the problem, the reseacher formulates problems as follow:
1. What styles in texs form are used by Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality?
2. What dominant style in texs form is used in the Travels in Hyper Reality? 
3. What is the description of posmodernism in the Travels in Hyper Reality?
4. how to deconstruct the binary opposition in the Travels in Hyper Reality?

E. Objectives of the study
  The objective of the study in this research is to answer the formulation of the problems:
1. To find styles in texs form used by Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.
2. To know the dominant style used Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality. 
3. To describe the posmodernism themes Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.
4. To deconstruct the binary opposition in Umberto Eco in the Travels in Hyper Reality.

F. Significance of the study
The significan of the research can be describe as follows:
1. To provide the information for reader who want to analyze a literary work especially posmodernism book.
2. To give contribution to the readers in critics on postmodernism theory.
3. To implement the postmodernism in analyzing the book.























Writen by : Sulhaidi
Jur/ Fak : PBI-S1/ FKIP
NIM : 02.004.125
Subject : Research on ELT

E_Mail: sulhaidign@plasa.com

Muhammadiyah


Muhammadiyah Jilid 2
Oleh: Sulhaidi



Usia Muhammadiyah saat ini hampir menjelang satu abad dan, Muhammadiyah semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan baik internal maupun eksternal. Perhatian publik, internal dan eksternal, tak lepas dari berbagai macam dinamika yang sedang dihadapi oleh Muhammadiyah. dan dalam perjalanan waktu yang cukup lama ini diyakini telah banyak kemajuan, pembaharuan, dan juga penyimpangan dari cita-cita semula. Mulai perkambangan amal usaha yang sudah menjamur di seluruh pelosok negeri sampai pada pergulatan ideologi gerakan yang akhir-akhir ini banyak diberitakan dan dibicarakn oleh kalangan Muhammadiyah. 
Dalam usianya menjelang satu abad tersebut tersebut, sejauhmanakah peran Muhaamdiyah dalam menciptakan dan melahirkan ulul albab-ulub albab sebgaimana yang dicita-citakan pendirinya. Apakah pernah yang bisa dimauinkan oleh umat Muhaamdiyah di milenium baru, atau minimal di abad baru ini? Apakah masih memiliki tempat di bawah matahari bumi ini atau masih bercokol di buritan khafilah sebaimana sekarang ini, dimana kita hanya bisa mengkonsumsi tampa pernah bisa memproduksi, menginfor tanpa pernah membuta sendiri, meniru tanpa perna berinovasi? Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa peradaban adalah siklus, dan waktu akan terus bergulir. Perubahan merupakan keniscayaan dan tetapnya suatu keadaan adalah suatu kemustahilan. Itulah hukum perputaran kosmos yang permanen, sebagaimana ditetapkan oleh Al-Quran.
Tema besar dan pernyataan pikiran yang demikian ideal tersebut didasarkan pada keinginan dan pernyataan diri dan sekaligus mengayuhkan langkah kedepan yang lebih baik sebagai bagian dari kesyukuran atas usia Muhammadiyah yang hampir menjelang satu abad.
Mencermati laju gerakan Muhammadiyah, terutama dalamusianya yang menjelang hamper satu abad, banyak persoalan sebenarnya yang dihadapi. Terutama persoalan-persoalan dalam konteks nasional maupun global yang akhir-akhir ini menuntut kecerdasan sekaligus daya kritis warga Muhammadiyah. Muhammadiyah sekarang menghadapi sekurangnya tiga persoalan besar dalam konteks nasioanal maupun global. Diantaranya adalah grand narasi kapitalime global. 
Tantangan besar globalisasi, yang kini tengah bergulir dan gencar-gencarnya digulirkan oleh Amerika. Dunia telah berlari, lebih tepat lagi tunggang langgang, lebih tepat lagi dunia ini mrucut (Sindhunata). Artinya begitu mau dipegang, dunia ini luput seperti belut, itulah kira yang ingin dikatan oleh Giddens tentang zaman globalisasi. Globalisai yang kecepatannya tidak dapat dikendalikan dan perubahannya tidak dapat dipergunakan. Contoh yang mencolok dari dunia yang merucut adalah krisis yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara diakui atau tidak dalam sistem ekonominya menggunakan sistem ekonomi neoliberalisme. Pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada mekanisme pasar yang beroperasi menghantarkan pada kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Tetapi apabila terjadi krisis melanda maka filsafat neoliberalisme yang terjadi seakan mati, itulah yang ingin dikatakan oleh Giddens.
Globalisasi merupakan grand narasi lebih dari sekedar tajuk ilmiah atau fenomena social yang mengemuka. Ia sangat dominant sebagai diskursus politik dan ekonomi di dunia. Sebuah ideologi yang telah mengubah dan merembes masuk dalam pemberitaan media, naskah kebijakan dan publikasi bisnis. (Jhon Gray 1988). Bahkan wacana global ini telah dianggap sebagai cerita dominant dalam sebuah setting metanarasi yang muncul setelah postmodernisme, yang menglaim telah berakhirnya semua narasi besar, beberapa dekade yang lalu. (Don Kalb, 2000)
Mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktornya yakni TNCs, Bank Dunia, IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO berdasarkan ideologi neoliberalisme. Neoliberalisme merupakan kembangkitan kembali liberalisme dalam era yang baru. Faham tersebut memiliki keyakinan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi dapat dicapai sebagai hasil dari kompetisi bebas. Kompetisi bebas tersebut berjalan dengan pasar bebas adalah cara alokasi sumber daya alam, yang dikelola oleh mekanisme pasar atau pihak swasta. Harga selanjutnya ditentukan oleh pasar dan pemerintah tidak dapat menentukanya. Pada akhirnya kekuasaan dan keuangan memusat pada segolongan yang memiliki modal dan dalam alokasinya tidak merata dan terjadinya ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin makin tinggi. 
Gagasan yang sering didengung-dengungkan oleh ekonomi neoliberal, pasar bebas, hak milik intelektual, penghapusan subsidi oleh rakyat, deregulasi dan yang berkaitan dengan program pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan tatanan perekonomian global, maka sejak itu gagasan globalisasi dimunculkan. Globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme. Kebangkitan liberalisme yang membawa manusia terjadi pada dua pilihan yaitu mengikuti arus globalisasi atau melakukan pemilahan terhadap globalisasi.
Muhaammadiyah yang sejak berdirinya telah melakukan penyelamatan social lewat lembaga (PKO) Penolong Kesengsaraan Oemoem dan bebagai amal usahanya yang berpihak pada kepentingan rakyat, sebenarnya merupakan kreatifitas yang sangat cerdas dari pendiri Muhammadiyah. Jalan Muhammadiyah adalah jalan penyelamatan kemanusiaan, sejarah dan peradaban dari ketakutan dan kelaparan. (Chirzin, 2005, dalam Suara Muhamamdiayah: 13)
Banyak orang yang bertanya, “bagaimana sikap kita menghadapi globalisasi yang kini tengah bergulir di seluruh dunia”? realitasnya, memang kita tidak bisa berlari dari globalisasi ini. Kita tidak mungkin bisa lari pun menolak dari tekanannya. Namun demikian, kita juga tidak bisa menerimanya begitu saja dengan apa adanay, taken for grandted, menyerah dengan hanya mengangguk-anggukan kepala. 
Sudah saatnya Muhammadiyah melakukan kajian tentang grand narasi desa global dengan serius dimana mempunyai dampak yang sangat luas kepada kehidupan masyarakat dan Negara. Sikap yang paling tepat buat kita adalah sikap moderat, yakni berusaha untuk mengambil manfaat hal-hal positif dari globalisasi dan inklusivitasnya, serta sekuat mungkin untuk menjauhi hal-hal yang negative, baik material maupun spiritual,dengan membentengi iman kita, percaya pada diri kita sendiri, bekerja sekuat tenaga untuk mengembangkan kemampuan kita, dan senantiasa memberbaiki kinerja kita, sehingga hari ini menjadikan lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Dengan semangat awal pendirian PKO perlu diaktualisasikan dalam skala yang luas. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Presiden SBY dalam Pembukaan Tanwir Muhammadiyah tahun 2007: 
“agar Negara terbebas dari kapitalisme global, maka kita berdayakan dan bangkitkan kemampuan kita sendiri”
Ia mengatakan persaingan ekonomi baik antar kelompok, antar Negara, dan antar wilayah makin tinggi. Muhammadiyah kata Presiden, harus memikirkan cara-cara yang cerdas dan efektif untuk mendorong umat islam dan warga Negara se-Tanah air dalam memasuki dunia usaha yang terus berubah dan dalam persaingan yang makin keras. (Republika, 2007: 12)
Muhammadiyah yang telah berdiri sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia, telah menjadi “penyangga budaya” bagi keberadaan dan kelangsungan bangsa dan Negara. Daya survival yang merupakan keunggulan Muhammadiyah ini, oleh karena itu hadir sebagai sebuah persyarikatan yang merupakan “new social movement” untuk dunia. Muhammadiyah harus dapat membuktikan bahwa berbagai alternative nilai dan tatanan dunia yang adil dan sejahtera adalah sangat mungkin: “many worlds are possible”. Lembaga-lembaga dan juga gerakan-gerakan sosial baru itu sekarang sedang menghadapi tantangan dan panggilan sejarah yang baru, berupa penyelamatan kemanusiaan di era globalisasi ini. (ibid, 14)

Eks Kabid IPTEK DPD IMM DIY
E_Mail: sulhaidign@gmail.com



embun senja

gemericik embun senja menemani sang surya menuju peraduan, mengendap disela-selah pepohonan, hilang ditelan jarak

embun senja

gemericik embun senja menemani sang surya menuju peraduan, mengendap disela-selah pepohonan, hilang ditelan jarak