Thursday, August 7, 2008

Takdir yang Terenggut

Takdir yang Terenggut

Oleh: Sulhaidi

Sebuah gubuk tua yang sudah seumur kakeknya. Dulu lima belas tahun yang silam, hiduplah sepasang suami-istri yang rukun dan bahagia. Mereka tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Suasana asri nan indah membuat rumah itu hidup. Dua tahun sudah mereka lewati hidup bersama di dalam gubuk sederhana itu. Dinding bambu, beratapkan rumbai tak mengurangi sedikit apa kebahagiaan mereka. Kala pagi menyambut sinar sang surya menebus dinding-dinding laksana baru saja selesai perang para serdadu menembak babi buta sebuah rumah sehingga bolong-bolong pun nampak jelas di depan hidung. Ini bukan perang fisik antara sekutu dan musuh tapi perang kali ini perang melawan gelombang kehidupan. Pak Hadi, begitulah sapaan orang-orang kampung. Setiap hari ia kerja di bengkel, pagi hingga menjelang magrib. Istrinya Bu Rina, sedang hamil sembilan bulan, tetanda sebentar lagi menetaskan seorang anak. Segala sesuatu sudah dipersiapkan sang ayah untuk menjemput kedatangan cucu sang Adam.

Sore itu matahari merunduk tersipu malu disela-sela pepohonan, hingga raib di ufuk timur. Dalam gubuk reot itu terdengar suara ramai. Sudah berkumpul beberapa orang. Dukun beranak, kepala kampung, dan beberapa ibu-ibu yang sudah baya. Mereka sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Para ibu-ibu mempersiapakan apa yang dibutuhkan baik untuk Bu dukun maupun persiapan menjemput sang bayi. Sang dukun beranak sibuk dengan memberikan pengarahan kepada Bu Rina. Sementara diluar rumah, seorang lelaki yang berumur kira-kira 25 tahun berjalan mondar mandir dengan cemas. Pak Hadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sesekali duduk. Berdiri. Jalan. Wajahnya bermandikan keringat dingin bercapur cemas.

Dalam hati kecilnya ia memanjatkan do’a tulus ikhlas untuk keselamatan keluarganya. “Oh,,, Tuhanku, berilah mereka keselamatan. Kini mereka dalam keadaan yang tak berdaya, hamba Mu yang penuh dosa ini memohon kepada Mu, berilah mereka kesehatan dan panjang umur. Kuatkan dan tabahkan hati hambamu ini, ya,,,,Rabbi”

Sementara di dalam gubuk…………

“ ya,,,, ya,,,, ya,,,, tarik napas” Perintah sang dukun kepada Bu Rina.

“ Aduh !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Keluh bu Rina Menahan sakit yang tak terhingga.

“ Tahan sedikit, tarik napas, keluarkan” Ujar dukun beranak itu.

“Aduuuh,,, tolong,,,,,, “ Rintih Bu Rina sembari tangannya memegang sisi-sisi dipan.

“Sedikit lagi,,, ayo tarik nafas yang dalam” bujuk bu Dukun

“Tolong,,,,tolong,,,, ” jerit bu Rina menahan sakit sembari menarik nafas ynag tersengal-sengal.

“Tarik napas lagi yang dalam. Kepalanya sudah kelihatan”

Terbelahlah keheningan dan kecemasan gubuk itu dengan tangisan seorang bayi yang berjenis kelamin perempuan. Suasana haru dan senang menghuni segenap gubuk itu.

Seorang Ibu dari mereka keluar dengan mebawa berita gembira menemui pak Hadi.

“Selamat anak Bapak sudah lahir, ia seorang putri, sangat cantik seperti ibunya” katanya kepada pak Hadi

“Alhamdulillah, Engkau memang maha bijaksana ya Tuhan” ucap pak Hadi sambil mengusap muka dengan kedua tangannya.

“Ayo masuk pak” ajaknya.

Sang ayah menggendong putrinya dengan gembira. Lalu ia menemui bu Dukun. Menanyakan bagaimana dengan istrinya, Bu Rina.

“Bu, bagaimana keadaan Istri saya” Tanya pak Hadi dengan cemas.

“Pak Hadi yang baik dan bijak. Tuhan, Yang meluputi segala yang Maha, telah memberikan anugera dan karunia yang terbaik untuk hamba-Nya. Anakmu terlahir sebagai manusia yang sangat sempurna. Sehat dan sangat cantik. Kami semua turut bahagia atas lahirnya putri bapak. Apa-apa yang telah Ia berikan untuk hamba-Nya sesungguhnya tidaklah seberapa besar dari yang telah Ia ambil. Manusia berasal dari-Nya dan akan kembali jua kepada-Nya pula. Pertemuan dan perpisahan, kesedihan dan kegembiraan adalah rahasia alam. Dialah yang awal dan yang akhir. Tabah dan sabarlah dalam menghadapi segala cobaan hidup” papar Bu Dukun dengan bijak.

Belum satu menit Pak Hadi menikmati kebahagiannya menyambut kedatangan sang bayi. Tiba-tiba hatinya lusuh dan layu.

“Ya Tuhan ku,,, Engkau telah memberikanku karunia berupa seorang putri. Tapi,,, tapi mengapa,,,? Mengapa ia Engkau rengut dari ku? Apa salah ku? Aku tidak mengerti ya Tuhan. Mengapa tidak Kau beri kesempatan untuk melihat putrinya? Bagaimana aku akan membesarkan dan mengasuhnya? Oh Tuhan dunia ini terasa sesak”. Rintihan Pak Hadi dalam hati kecilnya ketika menatap sang istri untuk yang terakhir kalinya.

Pak Hadi nampak lemas duduk termenung menerawang hampa. Seolah ia merasa hidup tiada arti. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Suasana bahagia menyelimuti gubuk tua itu tak setara dengan rasa sedih yang ia hadapi. SETETES KEBAHAGIAAN ITU MENGALIR DENGAN PILU DAN HARU. Pak Hadi hanyut dalam belantara dunia kehampaan. Sunyi.

Di luar gubuk sudah banyak yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman. Air. Sabun. Kapan. Dan kembang.

***

Tujuh tahun telah berlalu. Rhea nama putri pak Hadi yang pertama. Ia tumbuh amat cepat. Putih. Cantik dan cerdas. Dalam pergaulan sangat terbuka sehingga di sukai teman-temannya. Persis seperti ibunya. Kini ia duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Sebentar lagi ia akan naik kelas.

Pak Hadi duduk santai di teras rumah. Menatap lingkungan sekitar. Betapa banyak perubahan yang terjadi. Waktu berpacu begitu cepat ibarat angin lalu yang berhembus tanpa ritme. Dulu, tujuh tahun yang lalu suasana di kampungnya masih agak jarang penduduk. Bisa dihitung dengan jari. Tujuh tahun yang lalu belum ada penerangan (baca listrik). Tujuh tahun yang lalu jalan-jalan masih tanah hanya sebagian yang lumayan bagus. Kini semuanya berubah. Terlintas dalam lamunan akan almarhum istrinya. Dia terjebak dalam kesendirian, terpenjara dialam yang gersang. Sunyi.

“Andai saja ia masih disisi ku. Andai Tuhan belum merengut ruhnya. Betapa bahagia rasanya. Ah,,, itu dulu. Kini Rhea sudah besar. Aku yakin istri ku akan bahagia melihat anaknya yang amat cantik dan pintar. Tapi,,, sayang dia telah tiada. Kau memang kejam Tuhan. Tapi tidak apa, Kau telah memberi ku seorang anak yang persis ibunya” Dialog pak Hadi dengan dirinya sendiri tiba-tiba terhenti ketika si Rhea telah ada di pangkuannya.

“Eh,,, sudah pulang kamu” Tanya pak Hadi sembari memeluk anaknya.

“Iya pak”

“Ayo kita makan, tapi kamu ganti pakaian dulu. Jangan lupa cuci tangan” ajak pak Hadi sambil mereka masuk ke dalam dan menuju ke ruang dapur.

Terik matahari begitu menyengat. Bocah-bocah tak perduli dan tak menghiraukan. Mereka tetap asik bermain dibawah terik. Berlari. Saling kejar. Kecerian terlihat di wajah mereka dengan bermandikan keringat. Bagi mereka bermain adalah dunia yang menyenangkan sebab dengan bermainlah mereka juga dapat berinteraksi satu sama lain. Begitu juga dengan putri Pak Hadi. Rhea.

Pak Hadi yang memiliki rambut ikal dan sedikit berkumis melanjutkan pekerjaannya di bengkel yang satu rumah dengannya. Ia bekerja sebagai teknis sudah cukup lama, kira-kira setelah selesai di STM langsung kerja di bengkel. Langganannya juga cukup banyak. Hampir setiap hari keluar masuk. Ia bekerja seorang diri tanpa rekan ataupun teman. Inilah satu-satunya keahlian yang ia miliki.

Hari telah senja matahari mulai merunduk di dela-sela pepohonan, seolah ingin menghindar dari siang. Angin berhembus lamban menjemput kedamaian malam. Malam yang selalu dinantikan oleh kelawar dan maling.

Empat tahun telah berlalu. Mengilang begitu saja. Semua telah berubah. Tapi, betulkah segala sesuatu telah berubah? Seperti doktrinnya Heraklitus yang mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan secara terus menerus. Atau sebaliknya tak ada yang berubah sedikit pun. Sebagimana bantahan Parminedces terhadap Heraklitus bahwa tak sesuatupun yang berubah.

Usia berjalan.. masa kecil juga berjalan .. waktupun enggan beristirahat. Tak terasa bergulir diantara dunia kata. Rhea kini sudah duduk di kelas lima. Pertumbuhannya amat cepat. Ia semakin besar cantik dan pintar. Tapi dunia ini tidak lepas dari kemungkinan. Seperti yang dialami keluarga pak Hadi saat ini.

Menginjak kelas lima tahun pertama Rhea, putri pak Hadi mendapat banyak permasalahan. Nilainya lambat laun turun drastis. Padahal ia anak rajin dan pintar. Rhea sering di panggil ke kantor untuk menghadap wali kelasnya. Menanyakan perihal apa yang terjadi. Guru wali muridnya menyuruh Rhea agar mengajak orang tuanya ke sekolah. Surat panggilan yang di bawa Rhea tidak pernah sampai ke Bapaknya. Sudah tiga kali surat itu ia sobek.

“Aku tidak ingin teman-temanku tahu siapa bapakku? Biarkan saja surat ini ku buang” Rhea berkata dalam hati.

Rhea pulang dengan muka kusut. Setibanya dirumah langsung menuju ke kamar dan mengonci dari dalam. Pak Hadi tampak bingung melihat tingkah laku putrinya yang tidak seperti biasanya. Hati kecilnya bertanya “Ada apa dengan putriku, kenapa ia berubah, tidak pernah menyapa, tidak pernah tersenyum lagi?”

Pak Hadi menghentikan pekerjaanya sejenak dan mengetuk pintu kamar putrinya. “Rhea, anak ku buka pintunya, bapak mau masuk!” pinta pak Hadi sambil mengetuk pintu.

Daun pintu itu terbuka. Terlihat Rhea sedang duduk membisu di atas kasur. Pak Hadi mendekati dan membelainya dengan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Tapi Rhea bergeser dan menjauh. Pak Hadi makin heran. “Ada apa nak?” Tanya pak Hadi sambil mengarahkan kedua belah tangannya kepada Rhea. Tapi Rhea makin menjauh dan bahkan mengeluarkan kata-kata diluar dugaan pak Hadi. Sungguh kata-kata itu sangat kasar.

“Kamu bukan bapakku!!!” teriak Rhea sembari menjauh dari bapaknya.

“Astahfirullah,,,, ada apa dengan kamu nak?” ucap pak Hadi seakan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh putrinya.

“Tidak, kamu bukan bapakku. Tidak mungkin bapakku cebol”

“Ya Allah, mengapa kamu berbicara seperti itu anakku?

“Aku mau pergi” Sentak Rhea.

Rhea berlalu di depan bapaknya. Entah kemana ia akan pergi. Tidak lama dari kepergian putrinya, tiba-tiba ibu guru wali kelasnya datang menemui pak Hadi.

“Eh,,, Bu Tini, ada apa dengan motornya, ada yang perlu di perbaiki? Tanya pak Hadi pada Bu Tini.

“Ah tidak, aku hanya ingin melihat kabar bapak. Soalnya kemarin ada pertemuan wali kelas, tapi bapak tidak hadir. Lalu Rhea bilang kalau bapak sakit”

“Apa,,, sakit, aku sehat-sehat saja kok, nih bu Tini lihat sendiri’

“Tapi mengapa Rhea kemarin bilang sakit? O ya,,, apa surat undangan sudah disampaikan oleh Rhea?”

“Surat undangan pertemuan wali, sampai sekarang aku tidak menerimanya” papar pak Hadi.

Bu Tini tampak heran. Sudah tiga kali surat undangan itu diberikan ke murid untuk disampaikan kepada orang tua mereka. Pertama Rhea bilang bapak sakit, kedua lagi sibuk, dan kemarin Pak Adrik yang mengambil raport, katanya bapak pergi ke luar kota. Sekarang Rhea banyak berubah, jarang masuk kelas, sering terlambat, banyak diam, nilainya turun. “Sebenarnya ada apa dengan Rhea?” Tanya Bu Tini dengan heran.

“Waduh, Rhea berbohong rupanya, tapi mengapa?” Tanya pak Hadi dalam hatinya.

Pak Hadi larut dalam lamunan. Ada apa dengan putriku? Mengapa ia berbohong? Tidak pernah hal ini terjadi semasa hidupnya. Tapi kali ini. “Oh Tuhan, lindungilah dia”.

“Pak Hadi, ada apa? Tanya bu Tini

“Ah tidak” jawab pak Hadi kaget.

“Sebenarnya ada apa pak Hadi? Tanya bu Tini penasaran.

“Ya beginilah nasib orang sepertiku. Anakku mungkin merasa malu memiliki bapak yang tidak seperti yang lainnya” papar pak Hadi dengan sedih.

“Pak Hadi mesti bersyukur, tidak banyak orang yang memiliki keahlian seperti bapak. Masih banyak orang yang di bawah pak Hadi, tak memiliki kaki dan tak memiliki keluarga” Bu Tini memberikan semangat pada Pak Hadi.

“Tapi ada apa dengan putriku” Tanya pak Hadi dengan dirinya sendiri.

***

Matahari tepat di atas kepala. Teriknya matahari tak mengurangi semangat pak Hadi membanting tulang. Tapi akhir-akhir ini pak Hadi sering melamun. Apalagi yang ia pikirkan kalau bukan putrinya semata wayang. Siang itu putrinya sudah pulang. Seperti biasa tanpa menyapa bapaknya, Rhea menuju ke kamar dan mengonci pintu.

Pak Hadi dengan sabar mengetok dan menghampiri putrinya.

“Rhea, akhir-akhir ini kamu kelihatan aneh, ada apa anakku?”

“Rhea hanya diam membisu”

“Kenapa kamu berbohong kepada bapak, waktu rapat wali kelas kamu bilang bapak sakit, waktu pembagian raport kamu suruh pak Adrik dan bilang kalau bapak ke luar kota, mengapa kamu seperti itu kepada bapak? Padahal bapak sangat menyanyangi kamu”

Muka Rhea menjadi merah, apa yang selama ini ia lakukan ketahuan juga oleh bapaknya. Ia tidak bisa berkata lagi, selain tidak bisa menerima semua itu.

“Tidak,,,Jangan dekati aku, kamu bukan bapakku, bapakku tidak cebol, aku akan mencari bapakku” sentak Rhea dan meninggalkan gubuk reot itu.

Pak Hadi tercengan sejenak, baru ia sadar kalau putrinya sudah pergi dihadapannya. Ia berusaha mengejar. Rhea mau kemana kamu nak? Jangan pergi. Jangan tinggalkan bapak sendirian? Rhea makin lama makin hilang ditelan jarak. Usaha pak Hadi sia-sia. Ia sudah mencari sampai larut malam. Sehari, dua hari ia mencari putrinya namun tak membuahkan hasil.

Sudah empat hari pak Hadi mencari putrinya yang hilang, akhirnya Ia menyerah pulang. Setibanya dirumah ia kaget bukan main. Kamar putrinya telah kosong. Pak Hadi menangis mencucurkan air matanya. Keduabola matanya berlinang butiran mutia yang bening, butiran mutiara itu menunjukkan rasa bersalah pak Hadi atas amanah yang diberikan namun gagal. “ Ya Tuhan,,, Kau memang benar-benar kejam, sekarang lihat, lihatlah, silahkan ambil apalagi yang bisa Engkau ambil, dulu Kau ambil istriku tercinta, lalu Kau ganti dengan putriku, sekarang,,, entah apalagi yang ingin Kau ambil” berontak pak Hadi dalam hatinya.

Matahari senja turun terus. Terus turun. Menghilang di ufuk sana. Azan mahrib pun menggema, mengalun mendayu memainkan irama alam. Menyambut kedatangan raja malam. Pak Hadi nampak cemas. Gurat-gurat diwajahnya menunjukkan kalau ia nampak lelah. Kedua bola matanya sudak tidak bisa di ajak untuk kompromi lagi. Pak Hadi pun tertidur di alam kerajaan malam.

***

Pagi yang menggelisahkan, deru bus kota berpacu saling kebut tak mau ketinggalan untuk mengais secuil rezeki di hamparan dunia fana. Lelaki yang mendekati kepala tiga itu melaju dengan langkah gontai menelusuri trotoar mencari putrinya semata wayang. Telah sekian kilometer ia tempuh. Telah berhari-hari ia lalui, namun tak kunjung jua ia menemukan putrinya.

“Pak Hadi kemana saja?” Tanya bu Tini , kala berpapasan dengan pak Hadi di persimpangan jalan.

“Saya mencari putri saya, Rhea. Apakah ibu melihat putri saya?” Tanya pak Hadi.

“Baru saja saya mau memberitahukan tentang putri bapak. Rhea sekarang berada di rumah sakit, ia mengalami kecelakaan tadi pagi” Papar bu Tini dengan turut bersedih atas kejadian yang menimpa putrinya.

“Apa…!!!” Sahut pak Hadi dengan nada kaget, dan gugup.

“Iya,,, sekarang mari kita pergi melihat putri bapak di rumahh sakit”

Pak Hadi dan bu Tini langsung melejit ke rumah sakit dimana Rhea sedang dirawat. Perasaaan pak Hadi semakin tidak karuan. Ia beharap semoga saja putrinya tidak apa-apa.

“Dok, gimana keadaan putri saya?” Tanya pak Hadi kepada dokter yang merawat putrinya.

“Bapak ayahnya?” Sahut dokter itu.

“Iya, gimana dok?”

“Putri bapak mengalami luka yang serius, ia membutuhkan satu ginjal. Hanya itu yang dibutuhkan agar putri bapak bisa sembuh. Sekarang bapak harus mencarinya untuk menganti ginjal putri bapak” papar dokter kepada pak Hadi.

“Ginjal,,,!” ulang pak Hadi dalam hati. “Kemana saya akan mencari ginjal, kalaupun ketemu dengan apa saya akan membayarnya? Ya Tuhan, begitu berat cobaan hidup ini, mengapa? Mengapa Tuhan?” Kecamuk dalam diri pak Hadi.

“Gimana?” Tanya Dokter

“Saya bersedia untuk memberikan ginjal saya pak”

“Bapak pertimbangkan sekali lagi”

“Saya siap melakukan apa saja demi putri saya, sekarang lakukanlah operasi” Pinta pak Hadi.

Operasi pun berlanjut. Dengan sabar dan tabah Pak Hadi telah menentukan pilihan untuk memberikan ginjalnya. Pak Hadi merasa sangat senang dapat membatu putrinya. Operasi berlangsung selama kurang lebih dua jam, Rhea pun siuman dari lelapnya alam bawah sadar. Ia belum tahu siapa yang telah memberikan ginjal kepadanya. Ia hanya melihat ibu gurunya, Ibu Tini.

“Bu, siapa yang telah menolong saya” Tanya Rhea dengan nada yang lemas.

“Dia adalah orang yang sangat dekat dengamu”

“Siapa?” Tanya Rhea ingin tahu.

“Dia sangat baik dan sayang padamu”

“Siapa?” Rhea semakin penasaran.

“Dia adalah bapakmu sendiri. Bapakmu yang telah memberikan salah satu ginjalnya padamu, sehingga kamu menjadi sembuh. Bersyukurlah”

“Sekarang bapakku dimana?

“Dia sedang istirahat”

“Aku ingin bertemu bapak ku” Pinta Rhea.

“Nanti saja kalau kamu sudah sembuh total”

“Tidak. Aku ingin bertemu sekarang”

“Rhea, anak yang baik. Kamu harus tabah dan sabar. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini banyak yang tak dapat di pahami oleh manusia. Itulah bagian dari misteri kehidupan. Tuhan mengetahui mana yang terbaik buat ummat-Nya. Apa yang Ia ambil tidaklah sebanding dengan yang telah Ia berikan. Semua berasal dari-Nya dan akan kembali jua kepada-Nya. Tuhan mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Bersyukurlah atas nikmat dan karunia yang telah Ia berikan pada kita.” Papar bu Tini degan lembut dan penuh kasih sayang.

Mendengar penjelasan itu, Rhea terdiam seribu bahasa. Butiran mutiara bening berlinang di kedua belah pipinya. Ia teringat akan semua kesalahan yang telah ia lakukan selama ini. Sekarang ia merasakan kasih sayang itu. Ia butuh tempat bersandar, kasih sayang dan perlindungan. Tapi semua itu tingal harapan semu.

Gambiran dalam naungan raja malam

Yogyakarta, 6 September 2006

Pukul 00.10”

SINERGI INTELTUALISME Dan AKTIVISME

GERAKAN MAHASISWA:
SINERGI INTELTUALISME Dan AKTIVISME
Oleh: Sulhaidi 

Selamat datang kau yang selalu gelisah, inilah dunia.
Dunia yang di lipat sekaligus abstrak dengan kegilaan-kegilaan yang tersedia. (Boy )

Salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali
Saat ibu pertiwi tidak dapat melindungi anaknya lagi
Saat cendikiawan, ulama, sastrawan, seniman, politikus
Hanya pintar bicara tanpa ada gerakan ke bawah secara realita
Untuk menolong saudara kecil
Cendikiawan hanya bisa membohongi saudara bodoh
Ulama hanya bisa berbicara saja tanpa ada hal bukti secara realitanya
Seniman atau sastrawan hanya bisa menulis puisi picisan tentang cinta,
Keindahan dunia ataupun kemalangan saudaranya sendiri
Politikus ya politikus
Saudara yang selalu berebut korsi karena ketakutan kehabisan korsi
Akhirnya…
Sekali lagi salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali

Para Filosof hanya mampu menginterpretasikan dunia dengan berbagai macam teori yang berbeda, berbagi macam argumen di gunakan untuk membongkar balikkan fakta dengan analisis negasi atas negasi hingga melahirkan seorang filosof yang bernama Karl Marx megejek semua kegilaan itu dengan melahirkan kegilaan baru lagi dengan sebuah doktrin bagaimana mengubah dunia bukan hanya ‘beronani’ dengan dunia wacana yang abstrak.


Mahasiswa adalah elit minority yang terdidik dari mayoritas. Mahasiswa juga serung di kelompokkan ke golongan intelktual, karena fungsi dan peran mereka dalam lintasan sejarah bangsa di belahan dunia. Jargon yang sering dilekatkan pada mahasiswa adalah agent of social and moral force. Hal ini sering ditafsirkan bahwa mahasiswa tidak diperbolehkan merambah dunia politik praktis (struktural), karena harus membingkai kegilaannya dengan moralitas. Inilah yang menjadi perdebatan klasik dalam tubuh gerakan mahasiswa yang tak kunjung usai. Banyak tulisan-tulisan yang menelaah tentang bagaimana mestinya seorang intelektual berperan, baik ala proporsional maupun profesional.

Intelektual mungkin itu yang terkesan, pada benak seorang mahasiswa yang selama ini banyak diagungkan oleh banyak orang untuk melakukan perubahan. Memang kalau di lihat dari sudut yang paling luar, kampus yang dihuni oleh mahasiswa adalah gudang-gudang intelektual. Benarkah kenyataan itu? Mungkin kita memandangnya terlalu eksklusif, karena realita yang terjadi sangat berlainan. Mahasiswa dalam posisinya memiliki dua tugas yaitu; tugas sosial dan tugas intelektual. Tapi apakah tugas itu sudah ada dalam benak mahasiswa?

Pertanyaan itu perlu kita renungi, ternyata tugas tersebut harus dilaksanakan oleh mahasiswa. Akan tetapi pada kenyataannya mahasiswa yang melaksanakan tugas itu sangat minim. Kenapa pada era reformasi tahun 1998, kita lihat tumbangnya rezim otoriter berkat keberanian mahasiswa untuk melakukan gerakan mahasiswa menentang rezin orde baru.

Dalam masa reformasi, ternyata suara kritis mahasiswa semakin rapuh entah kenapa. Mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih konsisten dengan agenda reformasi. Kita lihat dari kampus mahasiswa yang bernaung, ternyata terdapat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi.


Intelektual dan Peran Mahasiswa

Antonio Gramsci, seorang marxis berkebangsaan Itali, aktivis, wartawan, filosof politik cemerlang yang pernah di penjara oleh Mussolini, menuliskan dalam bukunya Prison Notebooks, “orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”. Selain pemikir ia juga pengorganisir gerakan-gerakan kelas pekerja di Itali dan seorang jurnalis. Gramsci pun bukan seorang pengamat yang melongok fenomena, namun ia juga membentuk gerakan sosial.

Berdasarkan fungsinya di masyarakat, menurut Gramsci ada dua tipe intelektual. Pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama dan para administrator yang secara monoton mengerjakan aktivitas dengan tugasnya dengan rajin. Kedua adalah intelektual organik, mereka yang berhubungan langsung dengan masyarakat, partai politik, serta berbagai kalangan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan (pengaruh) dan kontrol. Intelektual organik ini aktif dalam masyarakat senantiasa mengubah pikiran dan memperluan wawasan masyarakat. Ia tidak diam, puas dan enjoy dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Namun, ia selalu aktif bergerak dan berbuat untuk kepentingan rakyat. Seseorang intelektual selalu mengatakan pendapat yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan kepentingan penguasa.

DOSA INTELEKTUAL YANG PALING BESAR IALAH
APABILA IA TAHU APA YANG SEHARUSNYA DIUCAPKAN,
NAMUN MENGHINDAR UNTUK MENGATAKANNYA.

Maka, pilihan yang sering dipilih oleh mahasiswa posisi oposisi daripada memilih akomodatif dengan penguasa. Sebab hidup mereka bertumpu pada pengetahuan dan kebebasan bukan pada penguasa dan jabatan.

Mohammad Hatta menuliskan “sekalipun intelektual berdiri atau duduk di luar pemimpin (pemerintahan), sebagai rakyat demokrat ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya”. Sebab bila ia tidak melakukan hal itu berarti ia telah menghianati nilai kemanusian yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidup mereka.

Seorang intelektual agar menjadi independen dan bebas dalam setiap geraknya harus mempunyai komitment moral dan intelektual. Ia tidak boleh menjadi budak yang membeo kepada penguasa yang berada dalam ruang-ruang kegilaan. Seorang intelektual bukan hanya pandai beronani dalam wacana yang abstrak namum juga mendudukkan epistemologi dan aksiologi dalam satu bingkai yang tak terpisahkan. Ia bersifat kritis, emansipatoris, hermeneutis, dan tentu saja bersikap politis. Maka dari itu ia akan mengkomunikasikan gagasannya dengan bahasa kaumnya, serta peka terhadap ketidakadilan yang semakin menggila dalam dunia yang semakin gila.

Sosok mahasiswa yang bisa diharapkan memberikan pencerahan kepada masyarakat ternyata sekarang sudah lapuh daya kritisnya. Itu tentu sangat memprihatinkan, kita teliti kebanyakan mahasiswa sekarang 3 DTP . Akhirnya kebanyakan mahasiswa terjangkiti virus pragmatisme dan apatisme.

… Ketika ke-tidakyakin-an pun
adalah suatu keyakinan ….

…Ketika tuhan mati
dan Manusia menjadi gila …?

Perspektif realitas mahasiswa dewasa ini adalah munculnya opini bahwa mahasiswa yang study oriented semakin marak. Orientasi kegilaan mahasiswa ini tak lebih dari sekedar menuntut ilmu saja. Oleh karenanya sikap apatis akan begitu kental akan terlihat pada mahasiswa tipe ini. Sehingga cenderung tidak kritis terhadap masalah-masalah di luar ruang lingkupnya itu dan tak mau tahu terhadap kondisi sosial di sekelilingnya. Sebagaimana yang di kritik oleh Freire bahwa kebanyakan dari kita hanya bisa menyesuaikan bukan etre pour soi kata Jean Pault Sarte, makanya kenapa Freire lebih sepakat dengan ideologinya Karl Mark bahwa kita harus mengubah dunia dengan kekuatan yang kita miliki sebagaimana yang di katakan oleh Filosof gila…..

Aku akan melahirkan sesuatu walau aku tidak tahu apa sesuatu itu namun sesuatu itu akan menjadi bom waktu
Begitu banyak kejadian telah kusaksikan
Tentang orang-orang yang sebetulnya bukan bajingan
Lantas menjadi demikian, karena nasib buruk, dan di paksa keadaan.

Kita juga di hadapkan pada mereka yang sering di sebut dengan mahasiswa aktivis, dalam tingkatan ini seorang mahasiswa selain kuliah aktiv dalam kegiatan lain. Mereka beranggapan bahwa ilmu tidak hanya di dapatkan ketika kuliah bahkan melalui pengalaman di luar menjadikan wahana ilmu baru baginya.


Sedang tipe ketiga adalah mahasiswa yang pragmatis atau hedonis. Di sinilah kita akan menemukan mereka yang justru menghabiskan masa mudanya untuk berhura-hura, cenderung menghabiskan study dan tak mau berorganisasi. Dalam penggolongan ini masih sangat kasar, namun dalam berbagai sisi hal tersebut sesuai dengan kondisi realitasnya.
Essensi ke eks

Mahasiswa yang moralis apolitis, study oriented menjadi gambaran umum sosok mahasiswa yang coba di kampanyekan oleh rezim di mana pun mereka berada, sedapat mungkin meraka menciptakan mitos tentang mahasiswa sebagai sosok intelektualis kritis yang hanya hidup di kampus dan kost atau rumah.


Mahasiswa yang apabila kita lihat dari basis kelasnya, merupakan segolongan masyarakat yang memiliki akses lebih besar untuk memperoleh patokan wacana ilmiah, khususnya menyangkut beberapa hal mengenai pemahaman dan wacana lebih maju di bidang sektor masyarakat lainnya yang apabila berangkat dari kelasnya merupakan kelompok masyarakat yang secara langsung mengalami kondisi teralienasi dan termarginalisasi serta terhimpit dalam suatu sistem sosio politik maupun ekonomi kapitalistik yang di bangun di atas basis penindasan manusia oleh manusia lain. Sehingga apabila muncul kesadaran dalam dirinya untuk merubah sistem dalam suatu negara, maka tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan melainkan dengan sebuah perjuangan untuk merebut kekuasaan kaum penindas untuk sesegera mungkin mengembalikan fungsi negara kejalur yang sebenarnya bagi kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat.


Tumbuhnya dunia mahasiswa menjadi sumber kepemimpinan nasional utama di samping organisasi perjuangan, di tandai oleh kuatnya motivasi mahasiswa untuk berjuang secara politik yang di sertai oleh keyakinan serta keberanian mengambil risiko dan ketrampilan politik. Memang menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dimana tiap pilihan mengandung risiko tersendiri. Demkian juga ketika memilih menjadi oposan-oposan adalah sebuah pilihan juga. Segala tindakan yang dilakukan bukan sekedar pembatal kewajiban sebagai mahasiswa tetapi leboh dari itu. Seseorang yang paham kondisi bangsanya mempunyai tanggung jawab untuk menuntaskan segala permasalahan, menggantungkan diri pada ide-ide langit juga sebuah pilihan, tetapi cukuplah sekedar intelektual-tekstual.
Mahasiswa dan Transformasi Sosial


Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan, sangat sulit mengelompokkan mahasiswa ke kelas sosial. Mahasiswa masuk ke kelas intelektual karena sikap oposisi kaum terpelajar terhadap suatu rezim yang hegemonik dan menindas. Namun bila dinilai dari gerakannya yang menggabung kritik dengan aksi-aksi massa, sukar untuk menggabarkan ia sebagai seorang resi (imtelektual). Pandangan yang sering muncul adalah mahasiswa politis yang menentang kekuasaan penguasa.

Perjalan gerakan mahasiswa tidak hanya sekedar di ukur dengan maraknya aksi dan menggulingkan kekuasaan. Tapi kita cenderung terbawa pada stigma yang pertama bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan penggulingan kekuasaan. Dalam perjalanan panjang dari gerakan mahasiswa, jebakan dan perangkap pragmatisme telah mewarnainya. Contoh, perjalanan gerakan mahasiswa pasca ’98, di mana seolah gerakan telah kehilangan orientasi dan cenderung tidak terarah dan tidak menyatu antar elemen adalah sebuah fenomena tersendiri. Mahasiswa semakin jauh dari cita-cita reformasi ketika berhadapan dengan realita yang kian menjepit, rutinitas ke-organisasi-an sampai pada rutinitas perkuliahan yang kian membelenggu sebagai seorang intelektual muda yang seharusnya organik menjadi konservatif dan cenderung pada hedonisme.

Medio tahun 1998 gerakan mahasiswa Indonesia melakukan “ledakan besar” dengan aksi yang terkenal dengan gerakan reformasi ’98. Gerakan yang telah mendobrak dan memporakporandakan kediktatoran ORBA yang di tandai lengsernya rezim otoritarium Soeharto yang telah bertahta di puncak kursi pemerintahan selama 32 tahun. Saat itu gerakan mahasiswa seolah irama konser yang begitu padu mengalunkan musiknya walaupun terdiri dari instrumen yang berbeda aliran dapat menghasilkan keselarasan dan kebersamaan. Mulai detik itu, cita-cita akan terwujudnya demokrasi yang sejati ‘berterbangan’ di setiap benak organisasi pro-demokrasi. Hampir semua orang menganggukkan kepala ketika tawaran istilah baru muncul yaitu orde reformasi untuk menggantikan ORBA seiring dengan tuntutan reformasi yang di gulirkan oleh mahasiwa.

Memang orde telah berganti dan tugas untuk membangunkan bangsa yang telah tidur lama pun telah di lakukan namun kondisi bangsa belum mengalami perubahan ke majuan. Gerakan mahasiswa 2003 – Mega-Hamza – dalam menggulirkan isunya hanya bersifat sementara dan untuk kepentingan sesaat, gerakan mahasiswa berhenti di pertengan tahun karena kekuatan mahasiswa tidak memiliki strategi yang jelas, hanya untuk kepentingan sesaat gerakan mahasiswa, serta tidak memiliki aliansi-aliansi taktis dan kesepakatan bersama. Isu-isu yang di bawa oleh gerakan mahasiswa memang hanya pada tingkat wacana, belum sampai pada tataran kenyataan (real action). Perjalanan gerakan mahasiswa kini seperti tidak punya nyali ketika di hadapkan pada isu premanisme. Apa yang di lakukan oleh gerakan mahasiswa 2003 secara esensi tidak ada yang tercapai kecuali agenda aktual seperti penanggulangan kebijakan kenaikan BBM, TDL dan tarif telpon.

Roda sejarah berkata lain, mahasiswa memiliki kemampuan untuk memobilisasi, mempelopori suatu perjuangan multi sektor dalam persfektif perubahan. Ketakutan akan kekuatan mahasiswa ini cukup beralasan karena mahasiswa pada kenyataannya memang memiliki kemampuan untuk mewujudkan idealismenya.

Agenda yang di bawa gerakan mahsiswa di bagi menjadi tiga kelompok, pertama; kelompok yang di motori oleh BEM dan senat institut yang memakai tradisi, ideologi demokrasi liberal dengan isu bagaimana mengubah kebijakan publik untuk bisa sesuai dengan partisipasi real keberpihakan rakyat, merespon hal-hal aktual seperti politik dan ekonomi. Kedua; kelompok gerakan yang mempunyai tipologi gerakan Marxis Komunis yang di motori oleh kaum muda yang punya visi strategi teknik melalui gerakan ekstra parlementer. Ketiga; kelompok gerakan yang mempunyai karakter ideologi sosialis non marxis yang di motori oleh jaringan Demokrasi Gerakan Radikal dengan agenda penolakan terhadap pemilu, tidak percaya pada produk seluruh elit, membangun masifitas rakyat melalui dewan rakyat atau semacam kepemimpinan alternatif.

Namun masalahnya yang terjadi sekarang ada gerakan mahasiswa yang benar-benar independen dan ada juga yang hidup karena patron. Kalau boleh jujur sekarang ini sudah tidak ada lagi gerakan mahasiswa yang benar-benar indefenden dan yang ada adalah gerakan yang punya patron. Dengan adanya patron maka terjadi pembunuhan radikalisasi dan militansi perjuangan. Akan ada stagnasi perjuangan dalam mengawal reformasi sehingga seradikal apapun gerakan pasti terbentur pada patronnya masing-masing. Akhirnya gerakan mahasiswa berada pada persimpangan jalan, jika salah melangkah maka yang akan terjadi adalah justru akan menjauhkan diri dari realitas yang sesungguhnya dan kemurnian dalam gerakan akan menjadi grey area. Pada hal di satu sisi gerakan mahasiswa masih sangat di butuhkan dalam merespon dalam setiap permasalahan ke-ummat-an. Tidak ada gerakan yang sempurna. Akan tetapi paling tidak gerakan itu harus di barengi dengan kekuatan idealitas yang berbasis pada kajian dan analisa secara matang, sehingga tidak terkesan bahwa gerakan tersebut telah ‘di boncengi’ oleh kekuatan pragmatisme materialis.

Ketidaksolidaritasan yang muncul setidaknya memungkinkan kecenderungan menjadi bomerang bagi cita-cita gerakan mahasiswa sendiri apalagi mendekati peristiwa politik yang besar yang di sebut pesta demokrasi atau ‘pesta rakyat’ meskipun belum tentu demokratis seperti pemilu 2004.


Sebuah keberanian yang luar biasa untuk menyuarakan kebenaran atau memprotes ketidakadilan dimiliki mahasiswa, ini melebihi orang yang tahu mendetail tentang permasalahan itu. Meskipun seorang profesor atau menteri punya kapasitas intelektual dan teori yang lebih mumpuni, mereka belum tentu berani mengatakan pendapatnya secara jujur. Sebab mereka masih khawatir dengan korsi empuk dan jabatan dalam ruang-ruang kegilaan. Oleh karena itu mahasiswa sudah dianggap sebagai hati nurani rakyat yang mampu menyuarakan aspirasi yang mereka percaya. Meskipun tindakan yang mereka lakukan kadang-kadang sedikit anarkis, penuh heroisme, serta kurang mau berkompromi. Mereka menginginkan adanya suatu proses transformasi ke masyarakat, apakah itu sistem politik, ekonomi ataupun sosial. Hal ini bisa di pahami sebab kecenderungan politik mereka untuk sebagian merupakan sifat berontak atau gejolak jiwa remajanya.

Sikap revolusioner dan radikal mahasiswa itu juga disebabkan oleh tidak betahnya melihat ketertindasan masyarakat akibat prilaku penguasa. Ia menginginkan revolusi dan perubahan mendasar secara cepat. Menurut Wahib, gerakan mahasiswa di Indonesia tidak pernah siap dalam meghadapi situasi kritis. Kekuatan revolusioner mahasiswa selalu gagal dalam merebut pimpinan dan memimpin inisiatif di saat-saat genting yang menentukan. Kebanyakan aktivis sekarang hanya seorang pejuang lapangan dan bukan seorang pemikir. Padahal Soekarno, Hatta, Syahrir dan Soe Hok Gie adalah seorang intelektual yang sekaligus seorang demonstran. Ia tidak hanya fasih berdiskusi, namun juga lihai melakukan aksi.

Sampai di sini, ada beberapa agenda baru (walau sudah ada) yang harus dilakukan oleh mahasiswa, yaitu;
Pertama; Gerakan mahasiswa harus senantiasa melakukan kajian-kajian kritis dan strategis. Kajian kritis dilakukan untuk memperkuat basis epistemologis dan menelanjangi kesadaran kritis untuk berbuat emansipatoris terhadap masyarakat. Pengenalan terhadap wacana-wacana kiri, teori kritis, ideologi ataupun kontemporer bisa di godok dalam ranah ini. Kajian strategis bermanfaat agar gerakan mahasiswa senantiasa responsif terhadap perubahan yang terjadi. Dengan jalan itu, mereka menjadi perduli dan merencanakan agenda aksi secara mendalam, kritis dan sistematis.
Kedua; melakukan aksi yang bersifat netral dan tidak memihak pada golongan manapun. Gerakan mahasiswa harus mengkritisi semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Ketiga; mahasiswa harus bersikap egaliter dan terjun langsung ke masyarakat, tentu saja untuk melakukan pemberdayaan dan pencerdasan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mahasiswa hendaknya bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan mensejahterakan kebutuhan rakyat.
Keempat; membongkar polarisasi label antara aktivis dan intelektualis, atau antara “birokrat” organisasi dengan tukang diskusi.

Saat ini hanya ada dua hal yang dapat dilakukan oleh kaum muda mahasiswa, pertama; duduk dan menunggu untuk di tindas oleh tirani, kedua; berdiri dan maju untuk berjuang melawan tirani. Dengan demikian euforia gerakan mahasiswa tahun 1996 dan 1998 dapat kembali terulang tetapi dengan beberapa catatan kaki yang salah satunya yaitu konsep perubahan dari gerakan mahasiswa harus jelas dan terarah, sistematis dan skematis menuju pada perkembangan dinamika masyarakat yang makmur dan sentosa.


… Kau harus mati
Demi yang lain
Hidupmu akan menaik membumbung
Bagai garis vertikal
Bagai gelombang
Bagai badai
Bagai puncak tinggi menjulang
Diantara bebukitan
Bagai sebatang pohon cemara
Bebas seperti lumut diantara lelumutan
Tumbuh ke arah mentari
Menjulang tinggi keangkasa …

Ali Shariati


Sekali lagi ku ucapkan; Salam setengah merdeka atau tidak merdeka sama sekali

HERMENEUTIKA Jalan alternatif ber-Romantisme dengan teks

HERMENEUTIKA
Jalan alternatif ber-Romantisme dengan teks
Oleh: Sulhaidi *

Prolog

Berbicara mengenai simbol dan pemahaman terhadap simbol pada dasarnya membicarakan mengenai pemaknaan dan cara mengungkap makna. Simbol-simbol itu dapat dikatakan pada mulanya berawal dari pemaknaan manusia terhadap sesuatu, sehingga pembacaan terhadap satu simbol pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menyingkap dan menangkap makna yang ‘ditempelkan’ terhadap sesuatu yang berposisi sebagai simbol tersebut. Dari sinilah lahir berbagai macam teori dan metode pemahaman yang merupakan titik tolak perkembangan peradaban ilmiah manusia.
Penafsiran merupakan suatu “simpul kontroversi” yang cukup alot diurai. Ada titik paradoksal, dimana sepintas kilas terasa sangat penting adanya “ruh teks”, utama teks suci agama, dalam sebuah tafsir sebagai suatu esensi yang sui generis, transenden, niscaya sekaligus pelegitimasi bagi keabsahannya. Pada kilasan yang lain, “ruh teks” tidak akan menyumbangkan makna apapun bagi manusia yang imanental jikalau tidak disublimasikan dengan dinamitas, progreifitas dan aktualitas manusia.
Kita bisa menganalisa bahwa tafsir apapun akan selalu berkubang pada dua kecenderungan:
1. Tafsir yang mempertahankan mati-matian pentingnya dominasi “ruh teks”, sekalipun untuk itu bahkan dilakukan intervensi, apatisasi, statisasi dan status quo.
2. Tafsir yang lebih menonjolkan perkawinan entitas riil manusia dengan “ruh teks”, sekalipun didalamnya niscaya terjadi distorsi, apatisasi dan revolusi terhadap “ruh transenden” itu.
Disinilah hermeneutika tampil sebagai salah satu pisau bedah atau metodelogi penafsiran yang perlu kita perhitungkan. Sekalipun dalam perjalanannya, hermeneutika juga mengalami berbagai evolusi paradigmatik yang sangat pelik, namun secara genral hermeneutika memainkan lakon signifikan bagi perjalanan pemahaman teks manusia.


Defenisi Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneua yang berari “penafsiran” atau interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Kata ini sering diasosiasikan dengan Hermes, seorang dewa dalam mitodologi Yunani yang bertugas mentampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Oleh karena itu Hermes haru mampu menginterpretasikan atau menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya.
Ada dua yang membedakan antara kata hermeneutic (tanpa ‘s’) dan hermeneutics (dengan hurup ‘s’). Term yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ketafsiran, yakni menunjuk kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam suatu penafsiran. Sementara term kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun).
Kata ini mengandung tiga arti:
1. Ilmu penafsiran.
2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis.
3. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci.
Pengasosiasian hermeneuitk dengan hermes sendiri secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:
a. Tanda (sign), pesan (message), teks
b. Perantara atau penafsir
c. Penyampaian kepada audiens.
Hermeneutika sendiri tidak bisa lepas dari bahasa. Setiap kegiatan manusia – berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan – selalu berkaitan dengan bahasa. Kata-kata yang merupakan satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas.
Peribahasa selalu mengandaikan adanya, dua dimensi : internal dan eksternal.
1. Dimensi internal ialah situasi psikkologis dan kehendak bepikir (intensi)
2. Dimensi external ialah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam bentuk wujud lahir batin, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada “orang lain“.
Hermeneutika secara singkat bisa diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Defenisi ini merupaka defenisi umum yang di sepakati terhadap hermeneutik, namun secara lebih jelas jika melihat terinologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal ;
1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Batasan-batasan hermeneutika ada enam:
1. Hermeneutika sebagai filologi
2. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik
3. Hermeneutikasebagai dasar metodelogi ilmu-ilmu sejarah
4. Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial
5. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran

Kesimpulan
Di Indonesia, apalagi di kalangan kita IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), kajian-kajian yang membahas secara kritis dan analitis mengenai metodelogi tafsir bisa dikatakan jarang. Penulis katakan jarang karena minim dan bahkan belum terlihat adannya analis tentang penafsiran yang cukup berani dan radikal (bukan tidak). Kala kita (IMM) berusaha bergumul dengan ranah ilmu-Ilmu yang sekuler cenderung dihantui terlebih dahulu oleh mitos-mitos nenek moyang. Sikap inilah yeng membuat ilmu pengetahuan kita tidak bisa di terima di luar apalagi tafsir. Kajian-kajian mengenai teks biasanya terfokus pada isi kandungan teks atau kalaupun mengkaji mengenai metode, lebih kepada ilmu teks klasik dan mengulang-ulang kaidah-kaidah penafsiran lama yang dianggap sudah established. Penulis katakan bahwa kita jangan terlalu mudah untuk memberikan sebuah justifikasi terhadap wacana-wacana sekuler (atheis) melainkan digunakan sebagai instumen refleksi dan apropriasi. Artinya kita (orang timur) dan lebih spesifik IMM melakukan refleksi terhadap religiusitas kita sendiri berdasarkan kritik-kritik tersebut. Setelah distansi, kritik-kritik tersebut kita maknai secara baru sebagai obat pemurnian keimanan kita dengan membersihkan dari apa-apa yang dituduhkan kaum atheis. Dengan menilik pemikiran mereka (atheis) kita mungkin akan menemukan bahwa religiusitas kita memuat kecenderungan atroposentrisme yang kurang manusiawi. Kiranya coretan-coretan usang ini diharapkan at least sebagai suatu pancingan bagi satu ekplorasi dan pengkajian lebih jauh terhadap teks agar tetap dinamis dengan zaman.

“Makna tidak sama dengan maksud pengarang”

ELEMENTS OF PHILOSOPHY

ELEMENTS OF PHILOSOPHY
Study Penghantar ke Filsafat
Oleh: Sulhaidi
E_Mail: Putra_lagisedih@Plasa.com

Selamat memasuki dunia kebingungan !!!


A. PENDAHULUAN

Jika ada orang yang bertanya sejak kapan manusia mengenal filsafat atau berfikir secara falsafati? maka jawabnya tidak satu. Banyak versi dan interpretasi atas kelahiran filasafat.
Pertama, ketika manusia pertama ada didunia, maka disitulah ia mulai berfikir. Kedua, ketika nabi Ibrahim mulai kritis dan berani mempertanyakan tentang Tuhan.
ketiga, filsafat lahir di Eropa Utara yakni Yunani.

Hampir semua filsuf percaya bahwa filsafat dimulai sejak manusia berfikir, dan Adamlah manusia pertama yang berusaha menggunakan akalnya secara maksimal, sehingga ia dikeluarkan dari surga demi idealisme dan kebebasan berkehendak. Namun kajian kefilsafatan mulai menjadi tema yang amat menarik disaat Nabi Ibrahim mulai bertanya tentang eksistensi Tuhan.

Apakah filsafat itu? Bagaimana defenisinya? Demikianlah pertanyaan- pertanyaan pertama yang akan kita hadapi takkala akan mempelajari filsafat.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebaiknya kita meninjau istilah filsafat dari; segi bahasa, segi terminology, dan segi perbedaan dari ilmu-ilmu lain. Kemudian barulah kita dapat merumuskan defenisinya yang lebih sistematis.

Filsafat ialah “induk ilmu pengetahuan”. Istilah filsafat telah dikenal manusia sejak 2000 tahun yang lalu, pada masa Yunani kuno. Di Miletos – Asia Kecil – tempat perantauan orang Yunani. Konon orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius ialah Thales kira-kira tahun 624 – 546 SM. Ia mempertanyakan pertanyaaan yang aneh, yakni: apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? pertanyaan ini merupakan substansi terdalam dari segala sesuatu. Filasafat yang diawali Oleh Thales karena berdasarkan fakta bahwa ia pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari yang menurut astronom terjadi pada tahun 585 SM.

Hatta mengemukakan pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan terlebih dahulu. (Hatta, 1966: 1:3). Nanti kalau orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya sesuai yang dicerapnya. Poedjawijatna (1974: 1) menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan erat dengan kata Yunani. Kata Yunaninya ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan Sophia; philo artinya cinta atau suka dalam arti yang luas, yaitu ingin dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya kebijakan – kebijaksanaan. Jadi filsafat itu bisa diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan. Apa itu “cinta” dan apa pula “kebijaksanaan” itu?.

Ambillah misal pernyataan, “apakah arti pernyataan aku cinta kamu?”. Masalahnya, mengapa persatuan seperti itu terjadi ? yang pasti ada rasa tertarik. Mengapa perasaan itu timbul ? jawaban yang pasti karena adanya “pengetahuan” bagi aku (S) tentang kamu (O). mengenai pengetahuanku tentang kamu ialah soal kedua, tapi kemudian akan menentukan bentuk dan sifat persatuan. Semakin dalam pengetahuan maka semakin kukuhlah cinta itu.

Jadi kunci dari cinta ialah “pengetahuan”. Tidak ada pengetahuan, maka tidak mungkin persatuan antara aku (S) dan kamu (O) itu terjadi.

Kebijaksanaan (kearifan) dalam bahasa Inggris disebut “wisdom” yang berarti Accumulated Philosophic or Scientific Learning” juga diartikan a wise attitude or course of action. Kata wisdom mengandung suatu pengetahuan ilmiah, yaitu suatu pengetahuan yang benar secara metodologis dan sistematis yang dapat diterima oleh common sense (logika). Selanjutnya jika pengetahuan ini menyatu dengan kepribadian seseorang, maka orang tersebut cenderung bertingkah laku bijaksana.

Jadi berdasarkan secercah goresan tinta diatas dapatlah diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan dan keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.

Dilihat dari segi terminology berarti melihat dari segi defenisinya. Poedjawijatna mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran belaka. Hasbullah Bakry (1971: 11) menyatakan bahwa filsafat ialah pengetahuan yang meneyelidiki segala sesuatu yang mendalam mengenai teology, cosmology, dan psicology sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan. Immanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup didalamnya 4 (empat) persoalan:

1. Apa yang dapat diketahui?
2. Apa yang seharusnya diketahui?
3. Sampai dimana harapan kita?
4. Apa itu manusia?


B. PENDEKATAN STUDY FILSAFAT

Secara garis besar, ada lima jenis pendekatan utama yang digunakan untuk melakukan study penghantar filsafat.

Pertama, pendekatan historis. Metode ini dipandang baik bagi para pemula. Dalam pendekatan ini, pemikiran para filosof terpenting dan latar belakang mereka dipelajari secara kronologis. Contoh pemanfaatan pendekatan historis yang baik ialah Jostein Gaarder dengan Dunia Shophie-nya (Mizan; Bandung) dan Mohammad Hatta dengan Alam Pemikiran Yunani (UI Press; Jakarta).

Kedua, pendekatan metodologis. Cara ini dipandang penting mengingat bahwa yang terpenting untuk memahami filsafat ialah dengan berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai metode dari berbagai metode filsafat ditimbang-timbang, kemudian metode yang terbaik diuraika lebih lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam berfilsafat. Contoh pengguna pendekatan ini ialah Mark B. Wood House dalam Langkah Awal Berfilsafat (Kanisius; Yogyakarta) dan VC. Peursen dengan buku Menjadi Filsuf-nya (Qalam; Yogyakarta).

Ketiga, Pendekatan analitis. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat ialah menjelaskan unsur-unsur filsafat dengan detail. Dalam pendekatan ini, isi filsafat diuraikan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya kepada pembaca. Contoh pemakai pendekatan analitis yang baik ini ialah Louis O. Kattsof dalam Pengantar Filsafat (Tiara Wacana; Yogyakarta) dan Sidi Gazalba dengan bukunya sistematika Filsafat yang terdiri dari empat jilid (Bulan Bintang; Bandung).

Keempat, pendekatan eksistensial. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat ialah memperkenalkan jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya yang kompleks. Dalam pendekatan ini, tema-tema pokok filsafat didalami dengan harapan bahwa para pembacanya akan sendirinya memperoleh gambaran tentang filsafat yang seutuhnya. Contoh penerapan pendekatan eksistensial yang baik ialah Christoper Philips dengan Socrates Café-nya (Gramedia; Jakarta) dan AC Erving dengan bukunya dalam bahasa Ingris yang berjudul The Fundamental Question of Philosophy.

Masing-masing pendekatan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Untuk memaksimalkan keunggulan-keunggulan dan meminimalkan kelemahan-kelemahan, agaknya yang lebih baik ialah dengah menggunakan pendekatan yang kelima, yaitu pendekatan terpadu atau konvergensi. Metode ini mensintesiskan berbagai pendekatan sekaligus dalam satu buku saja. contoh penerapan pendekatan terpadu atau konvergensi ini ialah Stephen Palquist dengan Pohon Filsafat-nya dan Harold H. Titus, dkk, dalam Persoalan-persoalan Filsafat (di- Indonesiakan oleh HM. Rasyidi dan diterbitkan oleh Bulan Bintang; Bandung).


C. OBJEK PEMBAHASAN FILSAFAT

1. Segala yang ada,
2. yang mungkin ada
Tentang objek material ini banyak yang sama dengan material sains. Bedanya ialah dalam dua hal;
Pertama, Sains menyelidiki objek materia yang empiris, Filsafat menyelidiki itu juga , -- bukan bagian yang empiris – melainkan bagian yang abstraknya.
Kedua, Ada objek material filsafat yang memang takdapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, Hari Akhir, yaitu objek material yang untuk selama-lamanya tidak empiris.

Selain objek material, ada lagi objek forma, yaitu sifat penyelidikan --- penyelidikan yang mendalam – artinya ingin tahunya filsafat ialah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Jadi, sains menyelidiki dengan riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya. Marilah kita ambil contoh tentang hujan.

Apa itu hujan? Mata melihat, hujan ialah air yang turun dari langit. Ini pengetahuan sains. Mengapa air itu turun? Ilmuwan mengadakan riset. Ia menemukan bahwa hujan itu ialah air yang meguap, berkumpul diatas lalu turun , dan itulah yang disebut hujan. Ini sains. Mengapa air laut, danau dan sumur itu menguap? menurut sains karena ada pemanasan. Ini masih pengetahuan sains. Mengapa di Indonesia banyak hujan, tetapi di padang pasir sedikit hujan? karena di Indonesia banyak gunung, di padang pasir tidak. Ini masih sains. Akan tetapi, mengapa di Indonesia banyak gunung, di padang pasir tidak? Sains tidak dapat lagi menjawab karena tidak dapat diteliti lagi secara empiris. Filosof berfikir, itu kebetulan; kebetulan saja di Indonesia banyak gunung di padang pasir tidak ada. Apa itu kebetulan? Kebetulan ialah salah satu bentuk hukum alam. Apa itu hukum alam? Hukum alam ialah hukum kehendak alam kata sebagian, hukum kehendak Tuhan kata sebagian lagi. Mulai dari kata kebetulan, sampai kehendak Tuhan, ini sudah pengetahuan filsafat. Jawaban-jawaban itu hanyalah berdasarkan pemikiran logis, tanpa dukungan fakta empiris. Berfikir tanpa dukungan data seperti ini sering disebut berfikir spekulatif – inilah filsafat, Perburuan tanpa akhir.


Dibawah ini ada sederet pernyataan, Masing-masing memuat suatu permasalahan filsafat.
1. Keindahan ada di mata orang yang melihat.
2. Filsafat hanyalah membuang waktu.
3. Orang tidak dapat benar-benar tidak memikirkan apa-apa.
4. Tanpa hukum tidak ada kebebasan.
5. Rasa-rasanya, saya ada dalam mimpi.
6. Semua agama pada dasarnya sama
7. Kebenaran tergantung pada sudut pandang kita.
8. Hal tepenting dalam hidup ini ialah mengetahui siapa diri kita.







“Konstruksi tanpa kritisisme adalah buta, kritisisme tanpa konstruksi pada akhirnya akan menyeret kedalam kekosongan dan ketiadaan”


“Tak ada sesuatupun yang ada secara absolute kecuali Tuhan; jiwa manusia ialah emanasi dari Zat-Nya, meskipun telah terpisah dari sumbernya nan suci pada akhirnya jiwa itu akan kembali bersatu dengan-Nya”.

DAFTAR PUSTAKA


1. Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1992).
2. Palmquist, Stephen., Pohon Filsafat (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002).
3. Bakry, Hasbullah., Sitematik Filsafat (Widjaya, Yogyakarta, 1970).
4. Hatta, Mohammad., Alam Pikiran Yunani (Tintamas: Yogyakarta, 1986).
5. Woodhouse, Mark B., Berfilsafat Sebuah Langkah Awal (Kanisius, Yogyakarta, 2000).
6. Gaarder, Jostein., Dunia Sophie (Mizan, Bandung: 2002).
7. Russell, Bertnand., Sejarah Filsafat Barat (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004).
8. Tafsir, Prof, Dr Ahmad., Filsafat Umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra (Rosda: Bandung, 2003).

INTRINSIK METODELOGISASI DALAM EPISTEMOLOGI

INTRINSIK METODELOGISASI DALAM EPISTEMOLOGI
Oleh: Sulhaidi

Selamat memasuki dunia kebingungan!

1. Pendahuluan

Epistemologi berasal dari Yunani “episteme” dan “logos”. Epistemology artinya pengetahuan (knowlwdge), sedangkan logos arinya teori (ilmu). Dengan demikian epistemology secara etimologis berarti teori pengetahuan.
Sebagai kajian filosofis, epistemology belum mencapai tingkat yang memadai di negeri ini. Memang sudah ada beberapa buku yang di tulis oleh sarjana Indonesia tentang epistemology, tapi umumnya masih berupa pengantar. Hal ini menunjukkan langkanya kajian seperti ini sehingga pad agilirannya menunjukkan kurang intensifnya kajian epistemology ini dilakukan.
Persoalan-persoalan penting yang di kaji dalam epistemologi berkisar pada masalah:
1. Asal-usul pengetahuan,
2. Bagaimana memperoleh pengetahuan,
3. Metode dan sarana serta metode apa yang dapat dipercaya untuk mendapatkan pengetahuan,
4. Peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan,
5. Hubungan antara pengetahun dengan keniscayaan dll.
Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan atau mungkin sampai pada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Banyak varian terkait masalah epistemologi. Penyelesaiannya tergantung pada apa yang diajarkan oleh seorang ahli psikologi kepada kita. Bertrand Russel mengatakan: “Seseorang tidak mesti menjadi seorang filsuf yang lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak; azas-azas serta metode-metode dan pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia tertarik pada filsafat”. Seseorang akan menyedihkan belaka, jika tidak mengetahui azas-azas, metode-metode serta pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu pada masa hidupnya.
Ditinjau dari sudut pandang yang lain, hasil hasil ilmu modern juga penting bagi seorang filsuf. Telah kita ketahui bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu pandangan dunia yang sistematis. Ini berarti meliputi azas-azas yang demikian rupa keadaannya sehingga tidak bertentangan dengan ilmu penemuan-penemuan serta hasil-hasil ilmu yang telah dikenal. Kesesuaian dengan lain-lain lapangan penyelidikan manusia selalu merupakan ukuran yang untuk menguji hasil-hasil yang dicapai. Suatu keadaan yang tidak runtut, tidak begitu saja dikesampingkan sebagai “pekerjaan setan”. Ketika Hegel dalam tulisan-tulisan awalnya mencoba membuktikan bahwa alam semesta ini tersusun hanya dari tujuh planet, maka kebenarannya itu sama sekali terbantah dengan ditemukannya planet ke delapan.
Jika dikatakan masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan, apakah yang kita maksudkan dengan pengetahuan? Pada umumnya, pembahasan tentang epistemologi dimulai dengan penjelasan tentang defenisi “sains” yang biasanya dibedakan dari pengetahuan. Tidak pernah jelas, misalnya, apakah sains itu sama atau berbeda dengan ilmu? Istilah ilmu terkadang dipandang sama dengan sains, tetapi kadang justru disamakan dengan pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan juga terkadang dipakai untuk merujuk sains yang debedakan dengan pengetahuan.
Sains dipandang sebagai any organized knowledge , ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” . Dengan demikian ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains hanya sementara sains di batasi pada bidang-bidang nonfisik -- metafisika.
Dalam kamus Webster’s New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, Scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa berarti “keadaan atau fakta mengetahui” dan sering diambil dalam arti pengetahuan yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan demikian telah terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi”pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi”.
Sementara ilmu didefinisikan sebagai pengetahun tentang sesuatu sebagaimana adanya. Pengertian ilmu sebagimana adanya mengisyaratkan bahwa ilmu tidak begitu saja sama dengan pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa saja tidak sebagimana adanya, tetapi lebih kepengetahuan umum yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari inderawi. Oleh karena itu pengetahuan sebagaimana adanya mengisyaratkan bahwa pengetahua tersebut haruslah pengetahuan yang telah di uji kebenarannya berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan tidak hanya berdasarkan praduga atau asumsi. Dengan demikian ilmu memiliki kriteria yang dimiliki oleh sains sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi.
Namun, ilmu, memiliki pengetahuan atau lingkup yang bebeda dengan sains karena sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris – positivis, ilmu melampauinya dengan memasukkan tidak hanya bidang-bidang empiris, tetapi juga nonempiris, seperti, matematika.

Kiranya sudah jelas bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang sejati, maka kita dapat mengajukan pertanyaan- petanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?

2. Metodelogi Pengetahuan

Metodelogi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi cirri-ciri ilmiah. Metodelogi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika, yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Manakala kita membicarakan metodelogi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.

Pertanyaan bagaimana kita mengetahui objek-objek ilmu sebagaimana adanya tentu sangat penting bagi setiap epistemologi karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur apa yang diambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagaimana adanya. Namun, seperti yang mungkin telah dapat dirasakan ketikan mengetahui sebuah objek sebagaimana adanya itu ternyata tidak semudah yang pernah dibayangkan. Untuk mengetahui warna langit saja, misalnya, ternyata tidak mudah karena kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu langit. Namun, kita juga tahu ternyata langit itu sendiri tidak mudah didefinisikan karena langit sebagaimana adanya ternyata berbeda sekali dengan langit yang kita persepsikan lewat indera kita. Demikian juga kalau kita masih memakai contoh terdahulu, untuk mengetahui ukuran bintang atau bahkan keberadaannya saja, juga ternyata sangat sulit untuk dicapai hanya dengan menggunakan mata. Oleh karena itu diperlukan cara-cara tertentu untuk bisa mengetahui objek-objek tersebut sebagaimana adanya, atau paling tidak mendekati kebenarannya. Nah, cara-cara untuk mengetahui sebuah objek ilmu pengetahuan itulah yang kita sebut metode ilmiah.

1. Empirisme
Dalam teori pengetahuan, poin pertama yang kita ketahui adalah pembedaan tajam antara dua jenis pengetahuan yang secara berurutan disebut a priori dan empiris. Sebagian besar pengetahuan kita diperoleh dari pengamatan terhadap dunia luar – persepsi inderawi – dan terhadap diri kita sendiri. Ini disebut pengetahuan empiris. Namun demikian sebagian pengetahun dapat diperoleh dari sekedar befikir. Pengetahuan semacam itu disebut a priori. Comtoh utamanya dapat ditemukan dalam logika dan matematika. Untuk dapat mengetahui 5 + 7 = 12, kita tidak perlu mengambil lima buah benda kemudian tujuh benda lagi, menggabungkannya, lalu menghitung jumlah totalnya. Kita dapat mengetahui jumlah keseluruhannya hanya dengan berfikir.
Seorang empirisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti “bagaimana orang mengetahui es membeku?” jawaban kita tentu akan berbunyi, “karena saya melihat sebagaimana adanya” atau “karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian”. Sama halnya dengan pertanyaan “bagaimana orang mengetahui Munif telah dibunuh?” maka jawaban kita akan berbunyi, “karena seseorang ada di tempat itu dan melihat kejadian tersebut, telah menerangkannya demikian”. Secara demikian dapat dibedakan dua macam unsur; yang mengetahui (S), yang menetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan. Dan yang kedua yang diketahui (O).
Unsur ketiga yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana orang mengetahui bahwa es membeku?” ialah keadaan kita bersangkutan dengan “melihat” atau ” mendengar” atau suatu pengalaman indrawi yang lain. Bagaimana kita mengetahui api itu panas? dengan menyentuh barang sesuatu dan memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Bagaimana kita mengetahui apakah panas itu? Dengan menggunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan perkataan lain, pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan? Dijawab dengan menggunakan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.
Jhon Lock, bapak empirisme Britania menyatakan: “Pengetahuan diperoleh dengan perantara indera kita”. Ini berarti bahwa ketika manusia dilahirkan akalanya merupakan sejenis buku catatan yang kosong – tabula rasa, dan didalam buku catatn itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurutnya seluruh sisah pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi.
Ia memandanga akal sebagai sejenis penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
Lock sangat berpengaruh dengan gagasan-gagasannya. Tujuannya mirip dengan Descartes yaitu mempertanggungjawabkan penggunaan akal dan memberi dasar kokoh bagi pengetahuan. Tujuannya seperti Descartes adalah untuk menelusuri dasar-dasar pikiran. Tetapi ia menolak anggapan yang mengatakan keunggulan dari “yang dipahami” daripada “yang diraba”, sebaliknya ia menekankan bahwa semua intelligebilitas ditarik dari indera.
Secara menarik dia membandingkan akal budi manusia pada saat lahir dengan tabula rasa, yang belum tertulisi apapun. Dengan ini dia tidak hanya mau menyingkirkan segala gagasan mengenai “ide bawaan” tetapi juga untuk mempersiapkan penjelasan bagaimana arti disusun oleh kerja keras data sensoris (inderawi). Kita tidak tahu apapun yang tidak ditarik dari indera. Tulisan satu-satunya yang asli diatas papan budi kita adalah yang ditulis oleh indera.
Pengalaman tidak hanya merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat inderawi, yang secara demikian menimbulkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan tadio diterima dan dipahamai sebagaimana adanya atau berdasarkan atas rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-taggapan mengenai-objek-objek yang telah merangsang alat inderawi tadi.
Tetapi apakah yang terjadi bila kita mempunyai sesuatu “pengalaman”? pertanyaan ini menjadi bermakna ganda jika kemudian kita menanyakannya. Kadang-kadang kiranya ini berarti bahwa indera bisa memperoleh rangsangan dan kita menyatakan mempunyai suatu pengalaman karena kita telah melihat atau mendengar dan sebagainya. Pada waktu yang lain tampaknya pengalaman bermakna hasil penginderaan ditambah tanggapan.

2. Rasionalisme
Perbedaan penting antara pengetahuan rasionalis dan empiris ialah pada yang pertama, kita tidak semata-mata mengetahui bahwa sesuatu ‘S’ sesungguhnya ‘P’, tetapi juga bahwa S pasti P dan mengapa S adalah P. Kita bisa mengetahui bahwa sekuntum bunga berwarna kuning (atau setidaknya menghasilkan sensasi warna kuning) dengan melihatnya, tetapi dengan cara demikian kita tidak dapat mengetahui mengapa bunga itu berwarna kuning atau mengetahui bahwa bunga itu pastilah kuning warnanya. Satu-satunya yang kita ketahui hanyalah bahwa bunga itu juga punya kemungkinan sama besar berwarna merah.
Tidaklah mudah membuat defenisi tentang rasionalisme sebagai sesuatu metode memperoleh pengetahuan. Rasionalisme berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran (pengetahuan) mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Tidak diragukan lagi bahwa sepintas betapa indera kita telah cukup memberi kita pengetahuan tentang benda-benda inderawi, ternyata tak memadai untuk mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena itu kita membutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang segala sesuatu. Dengan kata lain, akal lebih patut disebut sebagai sebagai sumber ilmu daripada indera. Misalnya dengan indera kita dapat melihat bulan separuh saja pada satu saat. Mata tidak bisa membuktikan adanya bulan paruh lain dari bulan yang tidak terlihat. Dalam hal ini akal yang dapat menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola atau sferik. Dengan akal juga kita dapat menyatakan bahwa pensil dalam gelas yang berisi penuh air itu lurus sekalipun tampak pada pandangan kita bengkok karena bias.
Descartes berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang daripanya menggunakan metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal sebagai hal-hal yang tak dapat diragukan.
Seorang penganut rasionalisme tetu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpilan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita mengingkan agar kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premis-premis haruslah benar secara mutlak. Bagi Descartes kebenaran-kebenaran a priori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.
Daptlah dikatakan, bagi penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan akal pikiran ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang. Selain itu, dalam hal ini tidak ada penyimpulan yang begitu saja terjadi mengenai kedudukan ontologis dari sesuatu yang diketahui. Seperti halnya pengalaman, orang menyatakan bahwa apa yang dialami tentu mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehinggga dapat merangsang alat inderawi. Maka begitu pula halnya dengan akal, terdapat ketentuan bahwa apa yang diketahui pasti dalam hal tertentu, mempunyai hakekat yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh akal.
Penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman berikutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan kita.
Secara demikian, jika kita menyatakan bahwa kita melihat sebuah pohon, maka kita tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena kita membuat pernyatan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang kita punyai. Mata kita mungkin menipu kita atau ingatan kita hanya dapat menyatakan bahwa kita melihat pohon, dan sebagai akibatnya kita tidak dapat menyatakan bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang pohon.
Tetapi jika kita menyatakan bahwa 2 + 2 = 4, atau bahwa bagi setiap kejadian tentu ada alasannya mengapa hal itu terjadi maka saya mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran. Ini sama sekali bukan masalah pendapat, karena tidak mungkin untuk mengingkarinya atau bahkan untuk memahami sesuatu seperti bahwa 2 + 2 = 5 atau ada kejadian-kejadian yang tidak beralasan untuk terjadi. Kita tidak dapatmembayangkan dalam pikiran tentang dunia yang kacau-balau. Maka bagi seorang penganut rasioanalisme, ukuran kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untu dipahamkan yang sebaliknya.
Pertanyaan penting sekarang adalah bagaimana sebenarnya akal dapat menyempurnakan pencerapan indera kita dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan kesan yang diterimanya? Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yaitu akal. Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh indera-indera kita, yaitu untuk bertanya secara altruis dan kritis serta radikal. Dengan demikian kita tidak bisa meragukan pentingnya akal sebagai sumber pengetahuan kita, yang tanpanya manusia akan berada dala kegelapan. Bagaimana hal itu (kemampuan akal untuk bertanya) dapat dijelaskan? Hal ini tidak lain karena akal memiliki perangkat-perangkat atau konstruksi-konstruksi mental atau apa yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategoti-kategori.
Apa yang dajarkan Kant dengan memperhatikan pertanyaan “kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus”. Bagaimana kita sampai dapat mengetahui keadaan yang memiliki hubungan sebab akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, setelah diselidiki oleh para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut dan bila kuman tersebut tidak terdapat dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita demam tipus.
Perhatikanlah, seorang ilmuan akan mengatakan bahwa kedua syarat itu harus dipenuhi sebelum kita dapat mengatakan kuman tersebut menyebabkan demam, karena seorang “pembawa kuma tipus” tentu mengandung kuman tersebut namun mungkin tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman dan juga orang yang sehat atau yang sakit itu.
Tapi pengamatan betapapun banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut. Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya. Tetapi Kant berpendapat bahwa sebab akibat merupakan hubungan yang bersipat niscaya.
Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian menyepaknya, maka kita tidak akan mengatakan bahwa kucing menyebabkan kita menyepak, meskipun yang demikina itu terjadi seribu kali. Kedua peristiwa itu tidak tampak berhubungan satu sama lain. Maka mengapakah bila kita melihat kuman dan kemudian melihat orang yang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit!
Indra hanya dapat memberikan data indera, dan data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak di peroleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.

3. Intuisionisme
Asumsi yang mesti ada, meski tidak selalu diakui, cepat atau lambat kita pasti sampai pada titik dimana kita langsung melihat bahwa ada suatu hubungan, tapi kita tidak bisa membuktikannya. Ketika kita langsung mengetahu kebenaran sesuatu dengan cara selain pengamatan empiris kita sebut memiliki intuisi.
Mungkin kita merasa tridak puas terhadap penyelesaian yang diajukan Kant sebelumnya, karena penyelesaian tersebut mengatakan bahwa pada babak terakhir kita hanya mengetahui modifikasi barangsesuatu dan bukannya barang sesuatu itu sendiri dalam keadaannya yang senyatanya. Jelaslah bahwa jawaban-jawaban terhadapnya untuk sebagian ditentukan oleh uraian yang telah diberikan tentang asal-usul pengetahuan. Batas-batas pengetahuan ditentukan oleh jenis-jenis alat yang kita gunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dimisalkan, kita minta agar seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan “penyerbuan dari planet Mars”. Kita anggap ia termasuk salah seorang yang terlibat sebagai pendengarnya. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah dikerjakannya ketika mendengar siaran tersebut; bagimana perasaannya ketika penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian aneh, apa yang dikatakan, pikirkan dan sebagainya.
Karena kita tidak berada di tempat itu, kita mungkin sangat tertarik pada keterangannya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah ia mengakhiri keterangannya, kita mungkin akan membuat suatu catatan tentang kejadian tersebut. Sebagai akibatnya, ia mungkin mengatakan atau merasa, “Ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi atau bagaimana perasaan kita”. Uraian yang ia berikan mungkin sangat lengkap, mungkin juga kita tidak dapat mengetahui apa yang terjadi, meskipun kita dapat menceritakan kembali mengenai kejadian tersebut.
Perbedaan tersebut kiranya terletak pada dua ungkapan, yaitu “pengetahuan mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of). “pengetahuan mengenai” dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. Pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan sibol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Ini tergantung pada pemikiran dari sudut pandangan atau substratum dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandang serta substratum tersebut. Pelukisan sebuah kejadian tersebut ditinjau dari sudut pandang tertentu berhubungan dengan suatu penglihatan tertentu dan atas dasar itulah kita dapat merasakan diri kita berada di dalamnya dan mengalaminya sebagai suatu keseluruhan dan sesuatu yang mutlak. “Pengetahuan tentang” disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung. Menurut Bergson, intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping penglaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.

4. Metode Ilmiah
Seiring perkembangan dan perubahan zaman maka ilmu pengetahuan yang dimulai dari universal hingga ke specific merupakan kemajuan yang telah dilakuakan manusia. Proses perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak lepas dari motede-motode yang digunakan baik filsuf maupun ilmuan dalam mengembangkan pengetahuan mereka. Dari sekian uraian yang telak kita diskusiakan sebelumnya tentu kita bisa menganalisa dimana letak kesulitan para filsuf. Ketika kita melihat ilmuan yang concern dalam laboratorium, mungkin ia akan mengeluh, “di dalam ilmu kita membicarakan kenyataan empiris, di dalam filsafat nampaknya tak ada sesuatu cara untuk memperoleh jawaban”, ini jelas menimbulkan masalah tentang metode ilmiah sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Metode ilmiah digunakan untuk membantu para ilmuan dalam menemukan sebuah jawaban yang dihadapi para ilmuan. Sebagai missal, ahli astronomi, Kepler, telah mencatat pengamatan-pengamatan yang banyak jumlahnya tentang posisi planet Mars. Catatan-catatan ini memberitahukannya tentang posisi Mars di ruang angkasa pada pelbagai waktu selama bertahun-tahun, dalam hubungannya dengan matahari pada satu waktu tertentu. Masalah yang dihadapai Keplr ialah: Macam jalan edar mengintari matahari yang manakah yang harus ditempuh oleh Mars agar berada pada titik-titik yang telah diamati diangkasa pada waktu-waktu yang setepatnya?
Di sini bisa dilihat bahwa unsure pertama dalam metode ini ialah sejumlah pengamatan, artinya pengalaman-pengalaman yang dipakai sebagai dasar untuk merumuskan suatu masalah. Masalah Kepler timbul karena penyelidikan yang dilakukan oleh orang lain sebelum kita. Tapi hendaknya dicatat, yang dikerjakan Kepler ialah suatu pelukisan yang akan menghubungkan pelbagai posisi planet Mars. Ini merupakan bagian hakiki dari penjelasan ilmiah; pelukisan tadi mencoba merumuskan pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa, sehingga masalah tersebut akan dihubungkan secara sistematis satu sama lain dengan fakta-fakta yang teramati sebelumnya.
Ketika suatu masalah dan sudah diajukan suatu penyelesaian yang dumungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan “hipotesa”. Jadi hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan verifikasi.














Kesimpulan

Persoalan ambivalensi manusia menimbulkan persoalan epistemology yang akhirnya di hadapi oleh manusia itu sendiri. Manusia sekaligus ada dan tidak ada bagi pengalamannya sendiri. Insinkronisasi antara eksistensi manusia dengan dirinya sendiri, yang merupakan bukti diri keterbatasan dan temporalitasnya, juga tampak dalam ketidak-klopan antara pengetahuan dengan dirinya sendiri: sebagaimana manusia tidaklah sama dengan dirinya sendiri, demikian juga ia tidak tahu apa yang diketahuinya. Ketidak-klopan kognisional ini merupakan celah yang memisahkan pikiran dan pengalaman dan sebagai suatu pengasingan pikiran dari dirinya sendiri.
Pengetahuan dikaitkan dengan ekspresi: “mengetahui” bukan hanya mengalami tetapi mengekspresikan pengalamannya sendiri bagi dirinya sendiri. Pertimbangan merupakan bentuk pokok ekspresi, tetapi perhatian utama epistemologi berhubungan dengan dasar pertimbangan; kodrat, jangkauan, dan asal dari evidensi.
Uraian diatas merupakan kilas balik perkembangan ilmu pengetahuan yang haus akan interpretasi secara kotinuitas. Terutama yang berkaiatan dengan metode-metode ilmu pengetahuan. Prinsip metodologis bukan dimaksudkan sebagai langah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode. Dimana hal ini sangat berkaitan erat dengan epistemologis, karena asumsi yang diajukan memasuki wilayah a priori. Di sini juga bisa kita lihat bagaimana para filsuf mempertahankan metode masing –masing bahwa merekalah yang benar. Sepanjang sejarahnya, filsafat telah terkoyak-koyak oleh konflik antara kaum rasionalis dan empiris. Satu pihak menekankan peranan logika dan yang lainnya menekankan pengalaman. Namun yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita bisa mempelajari dan memahami tetang metode yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan, gambaran tetang negasi atas negasi di atas murupakan sebuah permasalahan yang harus kita sikapi bukan kita perpanjang. Namun yang jelas bagi kita adalah bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh dengan pengalaman terlepas dari logika atau dengan logika terlepas dari pengalaman. Tanpa penggunaan logika, manusia tidak memiliki metode untuk menarik kesimpulan dari data perseptualnya; ia harus membatasi jarak jangkau momen observasi, selain fantasi perceptual yang terjadi padanya dikualifikasikan sebagai kemungkinan masa depan yang dapat menginvalidasi proposisi “empiris”-nya. Dan tanpa mengacu pada fakta pengalaman, manusia tidak memiliki dasar untuk proposisi “logis”-nya yang menjadi produk arbitrer dari temuannya sendiri.
Ke …..
Seseorang akan menyedihkan belaka, jika tidak mengetahui azas-azas, metode-metode serta pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu pada masa hidupnya. Lock

Daftar Pustaka

Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat, Widya, Jakarta, 1970.
Ewing, A. C, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Hadi, Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung, 2003.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
Mustansyir, Rizal, dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat, Putaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Rand, Ayn, Pengantar Epistemologi Objektif, Bentang, Yogykarta, 2003.
Santoso, Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003.